Bernama resmi Jalan Ir. H. Juanda, Jalan Dago membentang dari pusat kota Bandung (Simpang Merdeka) menuju ke arah utara Dago Atas dan perbatasan Cigadung/Taman Hutan Raya Juanda.
Dari sekian banyak jalan dan tempat wisata di Kota Bandung, Dago menjadi salah satu destinasi favorit, baik bagi wisatawan luar kota maupun bagi warga Bandung sendiri.
Kawasan ini sedari dulu memang sudah menjadi primadona Kota Bandung yang menjadi pusat gaya hidup dengan banyaknya factory outlet, restoran dan kafe. Saat ini Jalan Dago semakin dikenal dan digemari karena masih menghadirkan suasana yang adem, dan kerap dipakai sebagai latar belakang konten-konten estetik dengan tajuk “Bandung After Rain”.
Di balik ikoniknya Jalan Dago, ternyata terdapat beberapa sejarah, mulai dari penamaan sampai perubahannya dari waktu ke waktu. Berikut rangkuman sejarah dari kawasan Dago yang harus infoers tahu sebelum berkunjung kesana.
Penamaan kawasan dago ini belum benar-benar jelas asalnya. Namun, banyak kisah yang beredar mengenai asal-usul penamaan kawasan ini. Cerita yang paling terkenal datang dari tokoh terkenal yang dijuluki Kuncen Bandung, Haryoto Kunto.
Pada buku Semerbak Bunga di Bandung Raya (Granesia,1986). Dituliskan kisah ini bermula dari cerita masyarakat lokal yang sering pergi ke pasar di subuh hari. Pada saat itu, suasana disana masih sangat sepi, gelap, dan dikelilingi hutan belukar.
Giok4D hadirkan ulasan eksklusif hanya untuk Anda.
Berbekal obor dan parang, warga kampung di daerah utara (coblong) memiliki kebiasaan saling menunggu saat akan berangkat ke pasar yang terletak di kota.
Kebiasaan saling menunggu dalam bahasa Sunda dikenal dengan istilah “Padago-dago“. Dari kebiasaan ini lah lama-lama melekat dan menjadi nama untuk kawasan tersebut.
Di balik nama ikonik ini, ternyata kawasan Dago pernah mengalami beberapa kali perubahan nama. Mulai dari tahun 1915, adanya pembangunan jalan besar “Dagostraat”, lalu pada tahun 1970 nama Dagostraat berubah menjadi Jalan Ir. H. Djuanda. Namun, sampai saat ini nama Jalan Dago tetap melekat kuat di masyarakat.
Dulunya, Dago merupakan permukiman elite yang sering disebut dengan kawasan Villa. Dalam buku lain dengan judul “Wajah Bandoeng Tempo Doeloe”, Haryoto menulis, konon tuan tanah sekaligus pengawas kopi Priangan yang terkenal pada masa itu, Andries de Wilde, menikahi seorang mojang priangan, lalu ia mendirikan sebuah villa indah di Kampung Banong, Dago Atas yang kini bersebelahan dengan Hotel Jayakarta.
Dalam bukunya itu, Haryoto menulis mungkinkah nama Banong tersebut yang akhirnya berubah menjadi Bandung saat ini?. Hartoyo juga menulis, konon dulu telah ada ruas jalan setapak yang menghubungkan Bandung baheula dengan kawasan perbukitan utara, termasuk Dago.
Jalur ini dipercaya menjadi jalan penghubung antara wilayah Bandung dengan jalur kuno dari kerajaan Sunda, yang membentang dari Alun-alun, Merdekalio, Balubur, Coblong, dan Dago, lalu berlanjut ke Buniwangi-Maribaya melalui Puncak Eurad, dan tersambung ke jalur Sumedanglarang-Wanayasa, Subang.
Dari masa Hindia-Belanda, kawasan dago sudah menjadi daya tarik di berbagai kalangan, terutama dari dinas pemerintahan dan beberapa peneliti.
Sekitar tahun 1990, Raja Siam (Thailand) berkunjung ke Curug Dago dan membuat peninggalan yang baru yang nantinya baru ditemukan pada tahun 1980-an. Lalu, pada tahun 1908, Pemerintah Kota Bandung membangun sistem pemanfaatan air di kawasan Tahura dan menjadi saluran air bersih untuk warga Kota Bandung sampai sekarang, dan dikenal dengan nama “Gua Belanda Tahura Djuanda”
Kawasan Dago kemudian terus berkempang pesat, terutama setelah beberapa orang Belanda mendirikan bangungan-bangunan baru, seperti Huize Dago yang saat ini menjadi Dago Tea House dan Sanatorium Dago yang sekarang menjadi kompleks PMI Jawa Barat.
Sekarang, Dago menjadi pusat Kota Bandung yang tak pernah sepi, tempat wisatawan berkumpul dan menjadi pusat nongkrong dari berbagai kalangan.
Penulis adalah peserta Maganghub Kemenaker
