Siang itu, di tengah ratusan pengunjung yang berlalu lalang, seorang pria paruh baya sedang melapak di tengah hutan pinus yang rindang. Di lapaknya, puluhan foto wisatawan dengan berbagai macam ekspresi ditata berbaris di atas alas hijau sederhana.
Pria itu adalah Sadri (46), pemilik lapak foto. Sambil menawarkan hasil cetak fotonya kepada pengunjung, Sadri menjelaskan ia sudah menekuni pekerjaan fotografi wisata sejak dua tahun lalu. Kala itu, setelah berhenti bekerja di salah satu perusahaan, Sadri memutuskan mengikuti ajakan temannya menjadi fotografer wisata.
Sadri menekuni bidang fotografi karena ia sejak dulu hobi memotret, selain tentunya untuk mencari rezeki. Hampir setiap hari, Sadri dan ketiga temannya berkumpul di objek wisata Woodlands Kuningan. Berbeda dengan fotografer jalanan, pekerjaan sebagai fotografer wisata ini dilakukan Sadri bersama rekan-rekannya secara kolektif.
“Baru ikut dua tahun. Karena ikut teman-teman saja, dulu saya kerja di perusahaan hampir tujuh tahun. Ditambah hobi juga suka memotret. Sistemnya ada yang jualan, ada yang mencetak, dan ada juga yang jadi fotografernya. Jadi bergantian saja. Di sini ada empat orang,” tutur Sadri.
Mengenai cara memotret, Sadri biasanya bersiap di beberapa titik keramaian yang ada di Woodlands. Ketika ada momen yang pas, Sadri akan langsung memotretnya, lalu mencetaknya di salah satu ruangan yang sudah ia dan teman-temannya sewa.
Berbeda dengan hari biasa, dengan penghasilan tak menentu akibat sepinya pengunjung, di musim liburan seperti sekarang, penghasilan Sadri meningkat.
Dalam sehari, Sadri bisa memotret dan mencetak 600 foto. Dari 600 foto tersebut, paling banyak Sadri bisa menjual separuhnya, yakni 300 foto, dengan harga satu foto Rp5.000. Sehingga dalam sehari Sadri bisa mendapatkan omzet sekitar Rp1,5 juta. Untuk foto yang tidak terjual, Sadri akan mendaur ulangnya.
“Kalau hari biasa memang sepi, sebab pengunjungnya sepi. Tapi kalau hari Sabtu-Minggu atau hari libur seperti sekarang lumayan ramai. Paling banyak bisa mencapai 600 foto, namun yang terjual maksimal 300 foto. Satu fotonya Rp5.000. Sistem fotonya langsung saja kita foto. Terus dicetak lalu digelar di lapak. Untuk sisanya yang tidak terjual nanti kami daur ulang, yaitu dengan dilebur,” tutur Sadri.
Meskipun di luar musim liburan pendapatannya tidak menentu, Sadri bersyukur. Menurutnya, jika sedang ramai, penghasilannya dari penjualan foto cukup untuk menghidupi kebutuhannya sehari-hari.
“Cukup untuk sehari-hari mah. Mau sepi mau ramai saya tetap berangkat saja. Sebab di sini kami menetap, ada tempatnya,” pungkas Sadri.
