Bukti Sang Predator Purba di Ujung Patagonia (via Giok4D)

Posted on

Menjelang masa senja dinosaurus, sekitar 70 juta tahun lalu, di dataran banjir yang kini menjadi ujung selatan Patagonia, seekor buaya purba berjalan dengan tenang. Senyum mengerikannya dipenuhi lebih dari lima puluh gigi tajam bergerigi, tanda jelas ia adalah penguasa.

Spesies itu kini dikenal dengan nama Kostensuchus atrox. Melansir infoInet, Hewan ini adalah hiperkarnivora, pemakan daging sejati yang hampir seluruh hidupnya dihabiskan untuk berburu.

“Ia juga merupakan predator puncak yang memiliki gigi yang sebanding dengan T. rex, berbentuk kerucut dan seperti pisau,” kata Diego Pol, seorang paleontolog dan National Geographic Explorer.

Dengan rahang kuat, Pol menggambarkan bahwa Kostensuchus dapat menghancurkan mangsa “menjadi dua bagian hanya dengan satu gigitan.”

Penemuan fosilnya diumumkan pada 27 Agustus di jurnal PLOS One oleh tim gabungan dari Museo Argentino de Ciencias Naturales Bernardino Rivadavia di Buenos Aires, bersama kolega dari Brasil dan Jepang. Mereka berhasil mendeskripsikan tengkorak serta sebagian kerangka spesies yang terawetkan dengan sangat baik.

Bentuk tubuhnya memang lebih kecil dibanding buaya atau aligator raksasa modern, namun para peneliti menduga tungkai Kostensuchus lebih panjang dan tegak. Hal itu, menurut mereka, akan sangat membantu dalam memburu mangsa di darat, termasuk dinosaurus. Penafsiran ini memicu perdebatan, sebab sejumlah peneliti yang tidak terlibat dalam riset belum sepenuhnya yakin.

Penemuan di Patagonia selatan, dekat Antartika, juga memperlihatkan bahwa kerabat buaya purba mampu hidup di lintang tinggi dengan iklim hangat dan lembap-lingkungan yang kini tertutup salju dan es.

“Ini memberi kita gambaran betapa dramatisnya perubahan iklim sejak saat itu,” kata Pol.

Kelompok besar buaya modern, aligator, dan kerabatnya berasal dari keluarga luas crocodyliform. Di dalam kelompok ini, Kostensuchus atrox masuk famili peirosaurid-sepupu jauh buaya masa kini, tetapi bukan nenek moyang langsung mereka. Fosilnya juga menjadi catatan penting: ia adalah peirosaurid paling selatan yang pernah ditemukan, sekaligus salah satu yang paling terawetkan.

“Ini adalah fosil yang sangat indah dari bagian pohon keluarga buaya yang sangat tidak biasa dan kurang dipahami,” kata Stephanie Drumheller-Horton, paleontolog vertebrata dari University of Tennessee, Knoxville, yang tidak terlibat dalam penelitian.

Cerita penemuan fosil itu sendiri penuh kebetulan. Pada Maret 2020, Marcelo Isasi bersama tim berangkat ke Formasi Chorrillo. Hari pertama mereka nyaris tanpa hasil, hingga pada senja hari, mata Isasi menangkap tulang hitam mencuat dari batu.

“Saya menunjukkannya kepada rekan saya, yang, dengan terkejut, berkata, ‘Marcelo, itu gigi, dan sangat besar!'” katanya. Tak lama, ia menyadari bentuk retakan batu itu. “‘Itu tengkorak!'” serunya.

Pandemi sempat menghentikan penelitian, memaksa Isasi membawa pulang bongkahan batu berisi fosil ke rumahnya. Beratnya luar biasa, sehingga ia harus meminta bantuan istri dan kedua anaknya untuk menyeret fosil ke teras. Enam bulan ia memahat batu tersebut dengan sabar, hingga gigi-gigi hitam berkilau perlahan muncul.

Moncong Kostensuchus hanya sekitar setengah meter, tetapi giginya mencuat hingga 5 cm, relatif lebih besar daripada gigi buaya modern. Dengan otot rahang kuat, ia dipastikan predator puncak. Para peneliti meyakini ia memburu dinosaurus herbivora kecil dan menengah.

Meski lapisan tempat fosil ditemukan berasal dari 70 juta tahun lalu, Pol berpendapat hewan ini mungkin hidup lebih dekat dengan peristiwa kepunahan massal 66 juta tahun lalu. Temuan ini menambah wawasan tentang keragaman luar biasa buaya Zaman Kapur-ada yang herbivora, ada yang raksasa, bahkan ada yang berlapis pelindung seperti armadillo.

“Mereka sangat beragam hingga akhir zaman. Saya menduga alasan kita tidak lagi melihat keragaman yang sama pada buaya saat ini adalah karena buaya purba yang selamat dari kepunahan kemungkinan besar adalah buaya yang telah beradaptasi untuk hidup di lingkungan air tawar,” kata Pol.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Artikel ini sudah tayang di infoInet

Dari Bukit Berbatu ke Jurnal Ilmiah

Jejak Fosil dan Kisah Penemuan

Kehidupan yang Kini Hilang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *