Bukan Baden Powell, Ini Sosok Sultan yang Jadi Bapak Pramuka Indonesia

Posted on

Ketika mendengar kata “Pramuka”, sebagian besar dari kita mungkin langsung teringat pada sosok Baden Powell, pendiri gerakan Scouting sedunia. Namun, tahukah Anda bahwa Indonesia memiliki “Bapak Pramuka” sendiri? Beliau bukanlah tokoh internasional, melainkan seorang pahlawan nasional, pemimpin kharismatik, dan bangsawan yang sangat berjasa dalam pembentukan serta pengembangan Gerakan Pramuka di Tanah Air. Sosok tersebut adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Hamengkubuwono IX, atau yang akrab disapa Sultan Yogyakarta, memiliki peran yang tak tergantikan dalam organisasi kepramukaan Indonesia, terutama sejak masa kepemimpinan Presiden Soekarno. Lalu, mengapa beliau yang layak menyandang gelar istimewa ini, bukan Baden Powell? Mari kita selami perjalanan beliau dalam membesarkan Pramuka di Indonesia.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX lahir di Yogyakarta pada 12 April 1912 dengan nama Gusti Raden Mas Dorojatun. Beliau adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwono VIII dan Raden Ajeng Kustilah, yang kemudian dikenal sebagai Kanjeng Ratu Alit. Sebagai seorang bangsawan yang memiliki visi jauh ke depan, Hamengkubuwono IX mengenyam pendidikan di berbagai sekolah ternama, baik di dalam maupun luar negeri.

Perjalanan pendidikannya meliputi:

Hollands Inlandsche School (HIS) atau setara SD di Yogyakarta.

Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau setara SMP di Semarang.

Algemeene Middelbare School (AMS) atau setara SMA di Bandung.

Universiteit Leiden di Belanda, tempat beliau mendalami ilmu pengetahuan dan memperluas wawasannya.

Latar belakang pendidikan yang kuat dan pengalaman hidup yang luas inilah yang membentuk beliau menjadi sosok pemimpin yang visioner dan berpengaruh.

Peran Krusial dalam Kepanduan Nasional: Dari “Poromuko” Hingga “Praja Muda Karana”

Gerakan kepanduan di Indonesia sebenarnya telah diprakarsai lebih dahulu oleh kolonial Belanda. Namun, pasca kemerdekaan, muncul kebutuhan mendesak untuk menyatukan berbagai organisasi kepanduan yang ada dalam satu wadah nasional yang kuat dan sesuai dengan jiwa bangsa. Dalam konteks inilah, peran Hamengkubuwono IX menjadi sangat sentral.

Pada tahun 1960, beliau diangkat sebagai Pandu Agung (Pemimpin Kepanduan), sebuah posisi yang menunjukkan pengakuan atas kapasitas dan pengaruhnya dalam dunia kepanduan. Setahun kemudian, pada 1961, Presiden Soekarno membentuk Panitia Pembentukan Gerakan Pramuka. Panitia ini beranggotakan empat tokoh penting, yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Prof. Prijono, Dr. A. Azis Saleh, dan Achmadi. Bersama-sama, mereka memiliki tugas monumental untuk mengolah Anggaran Dasar Gerakan Pramuka. Hasil kerja keras panitia ini kemudian melahirkan Keputusan Presiden RI No. 238 Tahun 1961, yang secara resmi menjadi landasan hukum pembentukan Gerakan Pramuka.

Istilah “Pramuka” sendiri, yang diusulkan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, memiliki makna yang mendalam. Kata ini diambil dari “Poromuko”, yang berarti prajurit yang terdepan dalam suatu peperangan. Namun, kemudian diinterpretasikan ulang menjadi singkatan “Praja Muda Karana”, yang berarti jiwa muda yang suka berkarya. Ini menunjukkan visi Pramuka bukan hanya sebagai organisasi kepanduan, tetapi sebagai wadah bagi generasi muda untuk berkreasi dan berkontribusi bagi negara.

Dedikasi Hamengkubuwono IX terhadap Pramuka tidak berhenti pada pembentukan dasar hukum. Beliau kemudian menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama periode yang sangat panjang, yaitu dari tahun 1961 hingga 1974. Selama kepemimpinannya, beliau mempelopori berbagai kegiatan dan program yang menjadi fondasi bagi perkembangan Pramuka hingga saat ini:

Perkemahan Satya Dharma (1964)

Salah satu perkemahan besar yang menunjukkan semangat kebersamaan dan pengabdian.

Kegiatan Wirakarya (1968)

Merupakan perkemahan kerja pertama Pramuka Nasional, menekankan pada kontribusi nyata Pramuka untuk pembangunan masyarakat.

Pembentukan Tri Satya Pramuka dan Dasa Dharma Pramuka

Dua prinsip dasar dan moral yang menjadi pedoman perilaku setiap anggota Pramuka. Tri Satya (tiga janji) dan Dasa Dharma (sepuluh kebajikan) adalah inti dari pendidikan karakter dalam Pramuka, yang masih digunakan hingga saat ini.

Berkat jasa-jasanya yang tak terhingga, tidak heran jika Hamengkubuwono IX dinobatkan sebagai Bapak Pramuka Indonesia. Beliau tidak hanya menjadi figur pemersatu, tetapi juga arsitek utama yang merancang pondasi filosofis dan operasional Gerakan Pramuka di Indonesia, menjadikannya organisasi yang relevan dan berakar kuat dalam kebudayaan nasional.

Dedikasi Sri Sultan Hamengkubuwono IX di dunia kepramukaan diakui secara luas, bahkan hingga kancah internasional. Pada tahun 1972, beliau mendapatkan penghargaan Silver World Award dari Boy Scouts of America, sebuah pengakuan atas kontribusinya yang luar biasa terhadap gerakan kepanduan global. Di Indonesia, beliau juga dikenal dengan sebutan Pandu Agung, yang mencerminkan sosoknya sebagai guru, panutan, dan pembimbing utama bagi seluruh Pramuka Indonesia.

Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat pada 2 Oktober 1988 di Washington DC, Amerika Serikat, pada usia 76 tahun. Jenazah beliau dimakamkan di pemakaman para sultan Mataram di Imogiri, Bantul, DI Yogyakarta.

Untuk mengenang dan menghormati dedikasinya yang tak lekang oleh waktu, tanggal 12 April, yang merupakan hari kelahiran Hamengkubuwono IX, diperingati sebagai Hari Bapak Pramuka Indonesia. Ini adalah bukti nyata bahwa warisan beliau akan terus hidup dan menginspirasi generasi-generasi Pramuka selanjutnya, menegaskan bahwa Gerakan Pramuka Indonesia memiliki pahlawan dan bapaknya sendiri yang tak kalah megah dari tokoh-tokoh kepanduan dunia.

Profil Singkat Sri Sultan Hamengkubuwono IX: Sang Gusti Raden Mas Dorojatun

Memimpin Kwartir Nasional dan Melahirkan Fondasi Pramuka Modern

Penghargaan dan Warisan Abadi: “Pandu Agung” Indonesia

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *