Di ujung selatan Jawa Barat, sekitar 140 kilometer dari Bandung, berdiri Kota Banjar, sebuah kota kecil yang tak sepenuhnya urban. Di tengah arus modernisasi dan perluasan kawasan perkotaan di provinsi dengan populasi terbanyak di Indonesia ini, Banjar menyimpan keunikan administratif yang tak dimiliki kota mana pun di Jawa Barat, yakni masih terdapat desa di dalam struktur pemerintahannya.
Secara administratif, Kota Banjar terbagi menjadi empat kecamatan, yaitu Kacamatan Banjar, Kecamatan Purwaharja, Kecamatan Pataruman, dan Kecamatan Langensari dengan total 25 unit pemerintahan tingkat bawah. Dari jumlah itu, 9 merupakan kelurahan dan 16 lainnya berstatus desa.
Kecamatan Banjar, misalnya, memiliki empat desa dan tiga kelurahan yang pusat aktivitas sosialnya masih kental dengan nuansa kampung. Begitu pula Langensari, dengan empat desa dan dua kelurahan. Purwaharja dua desa dan dua kelurahan serta Pataruman enam desa dan dua kelurahan.
Keberadaan desa di tengah struktur kota ini bukanlah sebuah anomali administratif semata, melainkan hasil dari proses sejarah yang panjang. Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jawa Barat, Ade Afriandi, menjelaskan bahwa akar persoalannya terletak pada proses pembentukan Kota Banjar itu sendiri.
“Di Jawa Barat itu ada satu pemerintah daerah kota yang di dalamnya masih terdapat desa, artinya ada pemerintahan desa dan kelembagaan desa, yaitu Kota Banjar,” ujar Ade saat berbincang dengan infoJabar melalui sambungan telepon, Rabu (29/10/2025).
Menurutnya, sejak awal pembentukan daerah otonom baru, Kota Banjar memang sudah memiliki struktur yang terdiri dari desa dan kelurahan. Pertimbangannya bukan hanya dari sisi administratif, tetapi juga karena kondisi wilayah, sarana-prasarana, dan demografi masyarakatnya yang masih bercorak pedesaan.
“Jadi Kota Banjar saat dibentuk, di dalamnya antara desa dan kelurahan itu sudah ada sejak pembentukan daerah. Tentu pertimbangannya selain kondisi wilayah, sarana prasarana, juga kondisi demografi di wilayah itu memungkinkan masih tersedia desa, ada pemerintah desa, kelembagaan, dan masyarakat desa yang masih eksis di Kota Banjar,” jelasnya.
Banjar sendiri lahir sebagai kota administratif pada 1992 melalui Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 1991, dan resmi menjadi kota otonom pada 21 Februari 2003. Saat peningkatan status itu dilakukan, desa-desa yang telah lama berdiri di wilayah tersebut tidak dihapus, melainkan tetap dipertahankan karena secara sosial dan geografis, wilayahnya memang belum seluruhnya mencerminkan kehidupan perkotaan.
“Memang historisnya itu kota administratif, kemudian ditingkatkan menjadi kota otonom dalam bentuk kota tetapi tidak menghilangkan ada desa di dalamnya, karena secara kewilayahan, demografi, sarana prasarana itu masih pedesaan,” tambah Ade.
Meski begitu, ia tak menutup kemungkinan adanya penataan ulang di masa mendatang. Undang-undang membuka peluang bagi perubahan status suatu wilayah, baik dari desa menjadi kelurahan maupun sebaliknya.
“Sebetulnya kabupaten kota atau daerah otonom itu dimungkinkan ada penataan desa atau kelurahan, perubahan status dari desa menjadi kelurahan atau sebaliknya dari kelurahan menjadi desa. Itu ada di dalam undang-undang desa,” ujarnya.
Keberadaan desa di dalam kota juga membawa implikasi pada sistem pelayanan dan bantuan pemerintah. Karena desa memiliki otonomi, mereka berhak menerima dana desa dari pemerintah pusat serta bantuan keuangan dari provinsi.
“Karena desa itu otonom, pemerintah pusat dengan dana desa maupun provinsi dengan bantuan keuangan desa memberikan bantuan keuangan atau stimulus untuk pembangunan di desa,” jelas Ade.
Sementara kelurahan berbeda. Secara struktur, kelurahan adalah bagian dari kecamatan dan berada langsung di bawah pemerintah kota. Maka, dukungan keuangan untuk kelurahan tidak bisa diberikan langsung, melainkan harus melalui struktur pemerintah kota dan kecamatan.
“Kelurahan itu perangkat daerah, bagian dari kecamatan. Jadi kalau pemerintah memberikan dukungan keuangan ke kelurahan tidak bisa langsung,” katanya.
Selain itu, perbedaan paling mencolok antara desa dan kelurahan terletak pada sistem kepemimpinan. Kepala desa dipilih secara demokratis oleh warganya, sedangkan lurah adalah aparatur sipil negara (ASN) yang diangkat oleh kepala daerah.
“Perbedaan yang pasti itu kelurahan isinya ASN, jadi tidak ada pemilihan karena diangkat oleh kepala daerah. Kalau desa karena otonomi, kepala desa berdasarkan pemilihan demokrasi,” ujar Ade.
