Sampah kini sedang menjadi ancaman serius di wilayah Bandung Raya. Pembatasan pembuangan ke TPA Sarimukti, perlahan jadi bom waktu yang hingga kini belum ditemukan solusi konkretnya.
Masalah ketidaksiplinan daerah pun jadi catatan krusial dalam pengelolaan sampah di Bandung Raya. Sebab, tak bisa dipungkiri, TPA Sarimukti takkan jadi satu-satunya solusi untuk penanggulangan masalah tersebut.
Yang baru-baru ini terjadi, adalah munculnya kembali tumpukan sampah di Pasar Induk Caringin, Kota Bandung. Fenomena itu bahkan bisa berlangsung lebih para ketika hujan mengguyur Kota Bandung seharian.
Di Pasar Induk Caringin, sampah menumpuk di area dalam kawasan pedagang. Area ini biasanya dipakai untuk lapak pedagang sayuran hingga buah-buahan.
Alhasil, kondisi ini menimbulkan pemandangan yang tak mengenakan. Selain sampah yang menumpuk, jalanan juga menjadi becek karena kondisi tersebut.
Bahkan, dalam salah satu unggahan di Instagram, Pasar Induk Caringin seolah berubah menjadi area ‘sop buah’ yang begitu luas. Istilah ‘sop buah’ muncul karena air hujan yang menggenang akan bercampur dengan tumpukan sampah buah-buahan yang terbawa hanyut di jalanan area pasar.
Tak hanya mengganggu pemandangan. Tumpukan sampah di Pasar Induk Caringin juga menimbulkan bau menyengat yang mengganggu kenyamanan pengunjung yang datang.
Di balik persoalan teknis itu, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jawa Barat menemukan akar masalah yang lebih mendasar yakni ketidakdisiplinan pemerintah kabupaten dan kota dalam menjalankan aturan pengelolaan sampah.
Kepala DLH Jabar Ai Saadiyah Dwidaningsih mengungkapkan, banyak daerah masih melanggar ketentuan pembuangan ke Sarimukti. Padahal, sistem baru berbasis tonase sudah diterapkan untuk mengontrol kapasitas pembuangan.
“Dulu kan ritase, sekarang dikonversi jadi tonase karena kami menggunakan jembatan timbang. Ternyata setelah pakai sistem tonase, kelihatan kabupaten/kota ketika masih ritase itu melebihi kapasitas seharusnya. Itu tidak disiplin pertama, sehingga overload,” ujar Ai saat dihubungi infoJabar, Kamis (13/11/2025).
Tak hanya soal kuota, pelanggaran juga terjadi dalam jenis sampah yang dibuang. Aturannya kata Ai, hanya sampah residu yang boleh dibuang ke Sarimukti. Tetapi kenyataannya, sampah organik yang seharusnya diolah di hulu, masih ikut tercampur.
“Bahwa organik itu dilarang masuk, jadi hanya residu. Kenyataannya saat ini organik itu masuk. Kami pernah memberlakukan sampah organik kita tolak, tapi dari sisi pengangkutannya belum dipilah juga sehingga yang masuk itu tercampur,” kata Ai.
DLH menilai kabupaten dan kota belum memiliki sistem pemilahan yang kuat di tingkat masyarakat. Edukasi soal pengelolaan sampah dari sumbernya masih minim, sementara fasilitas seperti bank sampah dan TPS3R belum optimal berjalan.
“Belum (optimal), masih jauh dari harapan. Dari sisi edukasi masih belum, dari sisi sarana prasarana juga kurang. Di kabupaten/kota di Jabar seluruhnya, TPA itu tanpa pengolahan, masih open dumping,” tegasnya.
Persoalan lain yang membuat daerah sulit disiplin adalah minimnya anggaran. Rata-rata dana pengelolaan sampah hanya sekitar 1 persen dari total APBD, bahkan ada yang di bawah angka itu. Akibatnya, armada pengangkut terbatas dan pengawasan ke lapangan tak berjalan maksimal.
“Anggaran pengolahan sampah di kabupaten/kota minim sekali. Rata-rata hanya 1 persen bahkan ada yang di bawah 1 persen. Jadi tidak ideal, padahal kewajiban kabupaten/kota dari pengolahan sampai pengangkutan juga,” tutur Ai.
Tak tinggal diam, DLH Jabar telah memberikan sanksi administratif kepada beberapa daerah yang dianggap mengabaikan tanggung jawabnya. Jika pembiaran terus terjadi, sanksi bisa ditingkatkan sesuai ketentuan undang-undang, bahkan hingga ranah pidana.
“Sanksi ada, baik dari KLH maupun DLH provinsi. Kita sudah menerapkan sanksi ke beberapa kabupaten dan kota dan ini tidak main-main. Bisa sampai pidana karena dianggap melakukan pembiaran,” ujarnya.
Kemudian, menurut data DLH Jabar, batas maksimal tonase harian sampah dari 4 wilayah di Bandung Raya ke Sarimukti yakni 981,31 ton untuk Kota Bandung, 280,37 ton untuk Kabupaten Bandung, serta 119,16 ton untuk Kota Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat.
Dengan adanya pembatasan itu, masalah klasik yakni gunungan sampah bermunculan, terutama di Kota Bandung, seperti di Jalan Gunung Batu, Kecamatan Cicendo, dan Jalan Sukabumi Dalam di Kecamatan Batununggal.
Menurut Ai, kapasitas Sarimukti kini sudah sangat terbatas. Ia menegaskan, provinsi sebenarnya hanya membantu pengelolaan secara regional bagi beberapa wilayah, sementara tanggung jawab utama tetap berada di pemerintah kabupaten dan kota.
“Sarimukti itu sifatnya membantu secara regional beberapa wilayah. Saat ini kami sedang menyiapkan Legoknangka. Karena Sarimukti terbatas, kami perlu melakukan pembatasan agar masa layanannya bisa bertahan dua tahun lagi,” jelas Ai saat dihubungi infoJabar, Kamis (13/11/2025).
Jika pembatasan tidak dilakukan, TPA Sarimukti bisa tutup dalam waktu singkat. “Kalau sekarang bebas misalkan, mungkin satu dua bulan atau enam bulan ke depan sudah tutup Sarimukti. Jadi pembatasan ini justru untuk menjaga agar Sarimukti tetap bisa memberikan layanan sampai Legoknangka beroperasi,” ujarnya.
Namun, Ai menilai persoalan tumpukan sampah di Bandung dan daerah sekitarnya bukan sepenuhnya akibat kebijakan pembatasan, melainkan karena kurangnya kesiapan dan kedisiplinan kabupaten dan kota dalam mengelola sampah di wilayahnya sendiri.
“Kami butuh kerja sama dari kabupaten dan kota, jangan semuanya dibuang ke Sarimukti. Sampah yang masuk ke Sarimukti itu seharusnya hanya residu, artinya sudah diolah di hulu. Organik tidak boleh masuk karena membebani volume dan memperberat produksi lindi. Tapi kenyataannya kabupaten dan kota tidak disiplin untuk hal itu,” tegas Ai.
Ia menambahkan, DLH Jabar sudah berulang kali memberi peringatan bahwa kapasitas Sarimukti semakin menipis. Bahkan, pemerintah provinsi telah mengimbau daerah untuk memperkuat pengelolaan di tingkat hulu, mulai dari edukasi masyarakat, pengaktifan bank sampah, hingga pembangunan TPS3R.
“Sering sekali kita sampaikan bahwa Sarimukti darurat. Maksudnya, kabupaten/kota harus siapkan langkah pengelolaan mandiri. Jangan semua dibebankan ke Sarimukti,” tuturnya.
Ai menegaskan, sesuai Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, tanggung jawab utama ada di kabupaten dan kota. Pemerintah provinsi hanya berperan membantu ketika daerah tidak mampu menyelesaikan persoalannya.
“Kalau melihat UU 18 tahun 2008 itu kewenangan pengolahan sampah di kabupaten dan kota. Jadi kami membantu ketika kabupaten dan kota tidak mampu menyelesaikan. Tapi membantu bukan berarti mengambil alih,” kata Ai.
DLH Jabar berharap daerah lebih proaktif menyiapkan sistem pengolahan sampah alternatif agar krisis seperti sekarang tidak terus berulang setiap kali TPA Sarimukti mencapai batas daya tampungnya.
“Seharusnya kalau kabupaten dan kota prepare, mereka sudah punya pengolahan lain selain ke Sarimukti. Sarimukti harus dijaga bersama, bukan hanya dibebani,” pungkas Ai.







