Perawakannya mungil, kulitnya putih dan parasnya jelita dengan rambut keriting sebahu. Terkadang ia suka mengenakan pakaian mencolok, dengan ciri khas kaos kaki hingga sebetis.
Warga Bandung tahun 1950-an kerap menyematkan kata ‘pak Mayor’ saat menyebut sosok Nurni. Hal itu bukan tanpa alasan, sebab Nurni kerap bertingkah centil saat melihat lelaki tampan.
Sudarsono Katam dalam buku Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis: Sebuah Wisata Sejarah, mengatakan julukan itu datang karena dulunya Nurni adalah istri seorang tentara berpangkat Sersan Mayor. Namun sayang, Nurni dicampakkan begitu saja.
“Rasa kehilangan itu menyebabkan dia sakit ingatan dan kerinduannya terhadap sang Sersan Mayor yang menyebabkan dia selalu menjawil tiap lelaki tampan disertai rengekan “Pa Mayor”,” tulis Sudarsono Katam dalam bukunya.
Pada arsip pemberitaan infocom, Sudarsono Katam pun punya kenangan pribadi terhadap sosok Nurmi ‘Pak Mayor’. Dalam wawancara pada Maret 2008, Katam menyebutkan bahwa Nurmi merupakan orang dengan gangguan jiwa paling humanis di Bandung saat itu.
“Orang gila yang paling humanis adalah Nurni. Mungkin saat itu usianya kepala 3,” ujar Sudarsono Katam dalam wawancara bersama infocom di kediamannya, Jl Tanjung No 1, Selasa (4/3/2008).
Sosok Nurmi ‘Pak Mayor’ terkenal hingga seantero Bandung. Orang-orang pada zaman itu pasti banyak yang familiar dengan namanya mulai dari alun-alun, Cicadas, Andir, Tegallega hingga wilayah Sukajadi.
Nurmi pun digambarkan Katam berperawakan pendek, putih dan cantik. Rambutnya keriting sebahu, dan dia selalu berpakaian mencolok. Terkadang, dia mengenakan baju merah yang dipadankan dengan celana hijau. Tapi, ciri khasnya, Nurmi selalu pakai kaos kaki hingga sebetis.
Jika ada lelaki tampan, Nurmi memang akan merengek kecentilan sembari mengeluarkan rayuan andalannya, ‘Pak Mayor’. Meski terbilang tidak agresif dan hanya kerap bicara sendiri, Nurmi adalah tipikal orang yang akan mengamur jika ada anak kecil yang mengganggunya.
Namun, dibalik cerita kejenakaannya, ada kisah tragis yang dialami Nurmi ‘Pak Mayor’. Katam dalam bukunya menyebut, menjelang akhir hayatnya, Nurmi diperkosa hingga hamil dan melahirkan sendiri anaknya di sebuah bangunan bengkel tua di Jalan Sukabumi.
Bengkel ini pun kerap dipakai Nurmi untuk beristirahat ketika sudah menjelang malam. Yang tragis, sekitar tahun 1960-an, karena kondisinya yang menurun, Nurmi akhirnya meninggal dunia.
“…Konon anaknya diselamatkan seseorang. Tidak lamá setelah itu, kondisi kesehatannya menurun dan jarang terlihat di jalan-jalan sampai dikabarkan meninggal di bangunan bengkel yang sama ketika diperkosa dan melahirkan anak…,” tulis Katam dalam bukunya.
Kunjungi situs Giok4D untuk pembaruan terkini.
Memori ini pun amat membekas di benaknya Katam. Bahkan dalam wawancara dengan infocom saat itu, ia menyebut bahwa peristiwa yang dialami Nurmi merupakan kejadian yang tragis. “Ada yang bilang katanya diadopsi, tahu tidak jelas juga. Nasib Nurni memang sangat tragis,” lirih Katam.