Masyarakat Sunda dikenal sebagai masyarakat agraris dengan nasi padi sebagai makanan utamanya. Sebelum mengenal budaya sawah yang padinya ditanam di atas lumpur, orang Sunda menanam padi di ladang yang dikenal dengan huma.
Menanam padi huma sangat bergantung kepada hujan untuk masa tanamnya. Maka, orang Sunda ketika panen mengungkapkan syukur karena alam telah bermurah hati menumbuhkan huma sehingga mereka bisa makan dan melangsungkan hidup.
Ungkapan terima kasih bukan saja diucapkan dengan kalimat, namun dilakukan dengan sejumlah ritual. Ritual ungkapan syukur atas hasil panen itu di antaranya adalah Seren Taun. Tradisi Seren Taun masih sering dilakukan oleh masyarakat Sunda di zaman ini, terutama di kampung-kampung adat.
Bagaimana tradisi Seren Taun itu berlangsung? Yuk, kenali lebih dekat tradisi ini.
Seren Taun terdiri atas dua suku kata, yaitu ‘seren’ yang berarti menyerahkan dan ‘taun’ yang berarti tahun. Seren Taun merupakan tradisi tahunan yang bertalian dengan ungkapan syukur atas hasil panen, terutama panen padi.
Tradisi ini diduga telah dilakukan oleh masyarakat Sunda sejak zaman Kerajaan Pajajaran, sebagaimana disebutkan Arif Hidayat dalam skripsi di UIN Syarif Hidayatullah berjudul ‘Ritual Seren Taun dalam Masyarakat Sunda, Studi Kasus Masyarakat Kampung Adat Urug Kabupaten Bogor (2017).
Dugaan itu dikaitkan dengan temuan-temuan sejumlah istilah di dalam naskah-naskah Sunda kuno yang khusus dipakai dalam pertanian, di antaranya seperti kata ‘mitembeyan’ (memulai) yang merujuk kepada waktu ketika padi mulai ditanam.
Seren Taun terus menjadi tradisi ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah selama setahun. Dalam perjalanannya tradisi ini mengalami persentuhan dengan Islam, sehingga dalam beberapa bagian dari rentetan kegiatan seren taun ada yang bernuansa Islam.
Lia Amalia dalam jurnal berjudul ‘Upacara Serentaun Sebagai Bentuk Rasa Syukur Masyarakat Kuningan di Bidang Pertanian’ menyebutkan, tradisi seren taun di Cigugur, Kabupaten Kuningan dilaksanakan setiap tanggal 22 Rayagung (Dzulhijjah/ bulan Haji).
Seren taun berkaitan dengan mitologi padi di Sunda. Dalam naskah kuno Wawacan Sulanjana dijelaskan bahwa padi ada karena Nyi Pohaci. Maka, orang Sunda berterima kasih dalam upacara seren taun itu, termasuk kepada Nyi Pohaci.
Nyi Pohaci Sanghyang Sri atau disebut juga Dewi Sri adalah sosok gaib yang disebut-sebut sebagai dewi padi atau dewi kesuburan. Dia datang ke Buana Pancatengah (dunia) jika diundang dengan hormat. Dan ketika masyarakat membunyikan alat musik dengan alunan indah, seperti tabuhan ritmis alu pada lesung, Nyi Pohaci tersenyum dan menari.
Tetapi, di luar itu semua, orang Sunda sesungguhnya sedang mengajarkan keturunan-keturunan mereka dengan tradisi tahunan ini untuk menghormati alam. Di Kampung Urug, Kabupaten Bogor di antara kegiatan seren taun itu ada ritual ‘ngubur sangu’, yakni mengubur nasi sebagai hadiah bagi ruh penjaga kesuburan tanah.
Dari sisi ilmiah, kegiatan ini bisa dibaca sebagai upaya memupuk tanah dengan bahan organik supaya tanah tetap sehat dan memberi manfaat besar bagi para petani. Nasi akan membusuk dan menjadi pupuk sangat bagus untuk tanah.
Menurut Lia Amalia, tradisi seren taun masih dilakukan oleh masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes (Baduy), Kampung Adat Ciptagelar, Kasepuhan Banten Kidul, di Kampung Naga, dan di Kampung Budaya Sindang Barang.
Di setiap wilayah itu, tentu tradisi seren taun berbeda-beda tata cara pelaksanaannya. Namun, semuanya tetap berpegang pada nilai yang sama, yakni bersyukur atas padi yang melimpah dan memberi penghormatan kepada Dewi Padi, yaitu Nyi Pohaci Sanghyang Sri.
Di Kampung Cigugur, Kabupaten Kuningan yang mana masyarakatnya memegang pikukuh dalam bingkai Sunda Wiwitan, tradisi seren taun dilakukan dengan penyalaan damar dan diakhiri dengan pesta makan bersama. Secara terperinci seperti ini:
Damar Sewu berarti damar atau lentera yang banyak, boleh jadi sesuai namanya ‘sewu’ yang berarti seribu. Penyalaan damar ini dilakukan sebagai simbol penerang jiwa. Dan ini menjadi pembuka tradisi seren taun di Kuningan.
“Prosesi ini dilakukan oleh pasukan berkuda berjumlah 4 orang yang mengambil inti api dari pusat api di Paseban Tri Panca Tunggal,” tulis Lia.
Tradisi seren taun ini dilakukan beberapa hari hingga mencapai puncaknya pada 22 Rayagung. Setelah Damar Sewu, ada ritual Pesta Dadung.
Pesta dadung dibagi kedalam tiga bagian. Pertama, doa atau rajah siliwangi dan Tari Budak Angon. Kedua, pembuangan hama dan penanaman pohon. Ketiga, penabuhan Kentongan Sewu.
Ritual ini dilaksanakan pada 21 Rayagung malam, menjelang acara puncak seren taun pada keesokan harinya. Pada acara ini, warga bekerja sama mendekor sebuah ruangan tempat acara puncak dengan tumpukan padi dalam jumlah besar. Dekorasi juga menggunakan buah-buahan warna-warni yang didominasi jambu air.
Puncak dari Seren Taun di Kuningan, pada tanggal 22 Rayagung dimulai dengan ‘Ngajayak’, yaitu merujuk pada prosesi arak-arakan membawa hasil bumi dari berbagai penjuru menuju tempat pelaksanaan upacara. Ada juga ‘Babarit’ yang merujuk pada pembacaan mantra atau doa diiringi tetabuhan musik tradisional. Terakhir adalah tumbuk padi, yang dipungkas dengan acara makan bersama semua warga.