Ambisi De Majestic Braga Hidupkan Lagi Seni Sunda

Posted on

Gedung De Majestic di Jalan Braga, Kota Bandung, terus beradaptasi dengan zaman. Bangunan ikonik ini bertransformasi, dari ruang hiburan eksklusif elite Eropa di masa lalu, kini menjadi pusat seni budaya Sunda yang inklusif.

“Gedung ini dibangun tahun 1922 dan diresmikan pada 1925,” ujar pengelola De Majestic, Deris Friyanto, saat ditemui beberapa waktu lalu.

Awalnya, gedung ini adalah bioskop bagi anggota Sociëteit Concordia. Di era Hindia Belanda, bioskop Majestic adalah jantung hiburan warga Eropa yang terintegrasi dengan Gedung Merdeka dan Hotel Savoy Homann.

“Mereka rapat di Gedung Merdeka, hiburannya di Concordia (bioskop Majestic), lalu menginap di Savoy Homann,” kata dia melanjutkan.

Catatan emas sesungguhnya terjadi pada 31 Desember 1926. De Majestic menjadi saksi pemutaran perdana Lutung Kasarung, film bisu pertama di Nusantara. Momen ini menjadi tonggak sejarah konten lokal mampu menembus dominasi film Barat kala itu.

Kini, di bawah naungan BUMD Jaswita, Pemprov Jabar merevitalisasi gedung karya arsitek C.P. Wolff Schoemaker ini sejak 2023. Ambisinya besar, menjadikan De Majestic pusat pelestarian seni dan budaya Sunda yang setara dengan daya tarik wisata luar daerah.

“Saya ingin suatu saat orang datang ke Bandung khusus untuk menonton wayang golek di Majestic, seperti halnya wisatawan ke Bali untuk menonton Tari Barong,” tutur Deris optimistis.

Meski begitu, ia mengakui tantangan berat menghadang, terutama gempuran budaya global. “Jujur saja, saat ini K-Pop jauh lebih diminati dibandingkan jaipongan,” ujar Deris.

Sebagai bangunan Cagar Budaya Kategori A, operasional De Majestic sangat ketat. Struktur asli tak boleh diubah, warna cat harus sesuai aslinya, hingga larangan merusak dinding untuk dekorasi. Keaslian inilah yang memikat grup musik Belanda, Odilion, untuk menggelar konser di sana pada 2024 lalu.

Saat ini, De Majestic tampil lebih terbuka. Gedung ini memfasilitasi konser orkestra hingga kegiatan komunitas kreatif.

“Artinya masyarakat menerima keberadaan gedung ini kembali,” kata Deris.

Keterbukaan ini disambut baik publik, termasuk generasi muda. Fina, salah satu pengunjung, merasa atmosfer bersejarah De Majestic memberikan kesan berbeda.

“Menonton pertunjukan seni di ruang bersejarah membuat pengalamannya lebih emosional dan bermakna,” ucapnya.

“De Majestic tidak hanya menarik karena sejarahnya, tapi juga karena fungsinya yang masih aktif sebagai ruang pertunjukan seni,” kata Fina menambahkan.

Senada dengan Fina, Sahrul Deaputra, mahasiswa Seni Rupa UPI. Dia melihat potensi besar kolaborasi di gedung ini.

Ambience dan sejarah itu penting. Gedung lama punya cerita. Jika rutin digelar pameran lintas disiplin, anak muda pasti lebih tertarik datang, bahkan ikut tampil,” tutur Sahrul.

*** Artikel ini merupakan hasil kontribusi dari tim mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) terdiri Risda Rosiana Herdiansyah, Zaidan Ramadhan, Azza Qurotu Aini, Alexander Bimo, dan Tiara Maulida.

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi