Peran Tradisi Lebe dalam Pelayanan Pernikahan di Indonesia

Posted on

Tradisi lebe atau orang yang berperan membantu masyarakat dalam hal pernikahan, rujuk dan cerai yang telah lama menjadi bagian dari prosesi pernikahan di pedesaan mendapat sorotan serius dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan pernikahan di Indonesia.

Meski bukan bagian dari struktur resmi Kementerian Agama (Kemenag), lebe masih memainkan peran penting dalam mengawal jalannya akad nikah di berbagai daerah, termasuk di wilayah Cirebon.

Dalam kegiatan Muzakarah Urusan Islam yang digelar Kanwil Kemenag Jawa Barat, Kapoksi Komisi VIII DPR RI, Selly Andriany Gantina, menerima berbagai aspirasi masyarakat, khususnya soal ketidakjelasan informasi dan praktik biaya pernikahan yang masih kerap membingungkan.

“Selama ini, ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mengetahui bahwa biaya pernikahan hanya Rp600 ribu, apabila ijab qabul dilakukan di luar kantor KUA, misalnya di rumah atau gedung,” kata Selly, Senin (14/4/2025).

Ia juga menegaskan bahwa berdasarkan regulasi, pernikahan yang dilangsungkan di Kantor Urusan Agama (KUA) pada hari dan jam kerja seharusnya gratis alias tidak dipungut biaya apa pun.

Namun, fakta di lapangan berkata lain. Selly menyebut, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan adanya perbedaan tarif yang cukup signifikan.

“Ada yang mengaku membayar Rp1 juta hingga Rp1,2 juta melalui lebe. Bahkan, ada juga yang menikah di KUA tapi tetap diminta membayar Rp700 ribu. Padahal jelas, menikah di KUA itu tidak dikenakan biaya,” tegasnya.

Ketidaksesuaian tersebut dinilai Selly sebagai bentuk minimnya sosialisasi terhadap aturan yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 59 Tahun 2018 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pada Kemenag.

Ia pun mendorong Kemenag untuk lebih aktif menyebarluaskan informasi resmi agar tidak terjadi kesalahpahaman.

Di sisi lain, Selly juga menyoroti posisi lebe yang hingga kini belum memiliki kejelasan hukum secara nasional.

“Status lebe sangat bervariasi. Ada yang masuk struktur pemerintah desa dan menerima honor, tapi ada juga yang tidak. Akibatnya, praktik di lapangan pun ikut berbeda-beda,” jelasnya.

Padahal, menurutnya, lebe masih memiliki peran krusial di tengah masyarakat, bukan hanya dalam prosesi nikah, tapi juga dalam membina kehidupan keagamaan. Karena itu, Selly menilai penting adanya pembinaan, pelatihan, dan dukungan kesejahteraan bagi para lebe agar dapat menjalankan tugasnya secara optimal.

“Ini saatnya kita pikirkan regulasi yang jelas untuk mengatur peran lebe. Jangan sampai keberadaan mereka malah menimbulkan polemik karena tidak ada standar baku, baik dalam tugas maupun soal biaya,” ujar politisi PDI Perjuangan itu.

Sebagai solusi jangka pendek, Selly menyarankan agar seluruh KUA memasang banner informasi resmi mengenai tarif pernikahan sesuai ketentuan pemerintah. Hal ini penting sebagai langkah edukasi dan transparansi kepada masyarakat.

“Dengan transparansi biaya, masyarakat tidak bingung, lebe pun bisa menjalankan peran dengan lebih profesional. Harapannya, ke depan sistem pelayanan keagamaan, termasuk pernikahan, akan semakin rapi, adil, dan menyejahterakan semua pihak,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *