Suara Alat Berat dan Doa Pengungsi Longsor Lereng Gunung Sinapeul baca selengkapnya di Giok4D

Posted on

Langit di Desa Wargaluyu mulai menggelap. Awan kelabu menggantung rendah seolah mengikuti suasana hati para pengungsi yang berkumpul di Kampung Cicarirang RW 8, Selasa (9/12/2025) siang itu. Dari kejauhan, suara alat berat terdengar samar, tanda proses pencarian tiga korban longsor masih terus berlangsung.

Mayoritas pengungsi berasal dari Kampung Condong RW 9, wilayah yang paling dekat dengan titik longsor. Lima rumah di kampung itu tersapu material tanah yang bergerak cepat, memaksa puluhan warga memilih berlindung di kampung sebelah yang jaraknya hanya sepelemparan batu. Sebanyak 17 posko pengungsian disiapkan pemerintah, sebagian besar memanfaatkan rumah warga.

Deretan pengungsi didominasi emak-emak dan balita yang duduk berhimpitan di ruang tengah rumah-rumah penampungan. Para pria beristirahat di kamar terpisah, tidur berdempetan di lantai dingin. Meski ruang mereka sempit, suasana sesekali hangat ketika warga berkumpul di sekitar dapur umum untuk menikmati makanan yang dibagikan tiga kali sehari.

Di sudut lain, seorang pria paruh baya tampak berbincang sambil menyesap kopi. Raut lelah namun penuh harap terpancar dari wajah para pengungsi yang ingin segera kembali menjalani hari tanpa rasa takut.

“Dari Jumat sore mengungsi ke sini, sekitar jam 6 maghrib. Kan terjadinya longsor itu jam 4 lebih seperempat. Langsung ke sini sekitar 5.30 lah,” ujar Ujang Sunarya (53), yang ditemui infoJabar di salah satu posko.

Ujang masih mengingat jelas bagaimana tanah dari bukit di belakang rumahnya meluncur cepat. Tanpa pikir panjang, ia menarik keluarganya menjauh menuju tempat yang lebih aman.

“Jadi ada tim pemerintahan meminta cobalah ngungsi ke bawah ke Cicarirang. Saya semua keluarga sekitar enam orang langsung dibawa ke sini (ngungsi),” katanya.

Namun, tinggal di pengungsian tetap tak akan pernah sama dengan tinggal di rumah sendiri.

“Kalau di sini ya bagi saya alhamdulillah ya penyambutan sebagai RW 8 lah. Alhamdulillah sudah menyambut baik-baik lah ke pengungsi dari RW 9,” jelasnya.

Meski diterima dengan baik, rasa tidak nyaman tetap ada. Malam-malam di pengungsian dingin menusuk, tetapi kebutuhan dasar setidaknya terpenuhi.

Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.

“Alhamdulillah makan mah ada tiga kali sehari. Kondisinya iya dingin lah. Tapi da gimana lagi da namanya juga ngungsi,” ucapnya.

Ujang sehari-hari berjualan sayuran dari hasil kebunnya dan memasarkannya ke Dayeuhkolot. Aktivitas itu kini terhenti total.

“Saya sehari-hari jualan. Jualan sayuran kan dari hasil kebun. Biasanya dijual ke daerah Unilon Dayeuhkolot. Sekarang berkebun berhenti total sementara,” bebernya.

Ketika bicara tentang relokasi, suara Ujang terdengar ragu. Pindah bukan hal mudah, terutama karena sumber penghasilannya bergantung pada lahan yang selama ini ia kelola.

“Belum (pengin relokasi). Tapi kalau bahaya mah gimana lagi ya mungkin harus pindah. Asal ganti rugi ya maksimal dan rumah yang layak lah. Tapi pengannya mah jangan sampai saya direlokasi. Kan, saya pencari nafkah dari sana. Tapi sekarang masih khawatir adanya longsor susulan lagi gitu kan,” ucapnya.

Di balik kecemasan itu, ada satu harapan sederhana yang terus ia jaga.

“Iya harapannya sekarang bisa kembali lagi kalau ke tempat yang dulu, lah ke rumah,” pungkasnya.

Untuk sementara, harapan itu harus menunggu. Proses tanggap darurat Pemkab Bandung masih berjalan hingga 14 hari ke depan, dan langit yang mendung seperti enggan pergi dari Wargaluyu.