Respons PTPN Usai Kebun Teh di Pangalengan Tuai Polemik

Posted on

Lahan perkebunan teh di Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung diduga dirusak oleh oknum masyarakat. Aksi perusakan tersebut dilakukan untuk alih fungsi lahan menjadi perkebunan sayuran.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Barat menyoroti berbagai permasalahan yang terjadi di perkebunan teh yang ada di Pangalengan. Salah satunya adalah adanya ribuan hektare Hak Guna Usaha (HGU) PT Perkebunan Nusantara (PTPN) di wilayah Kabupaten Bandung telah habis.

Menanggapi permasalahan tersebut, Manager Kebun Malabar PTPN I Regional 2, Heru Supriadi mengatakan, saat ini tengah melakukan proses pengajuan perpanjangan HGU. Kata dia, dalam proses tersebut hak pengelolaan PTPN atas lahan itu tidak langsung langsung hilang.

“Selain itu terdapat aset BUMN (PTPN) di sana. Kecuali, tanah tersebut diambil alih oleh kementerian. Ketika itu terjadi, PTPN tak punya hak pengelolaan lagi,” ujar Heru, kepada awak media, Rabu (3/12/2025).

Heru pun menepis isu lahan teh yang mengalami kerusakan merupakan kerjasama PTPN dengan pihak lain. Menurutnya yang kerjasama dengan pihak lain adalah bukan lahan kebun teh yang sempat mengalami kerusakan.

“Itu masih kebun teh produktif. Jadi bukan lahan itu,” katanya.

Pihaknya menyebutkan lahan PTPN yang dikerjasamakan dengan pihak lain adalah lahan tidak produktif. Sehingga lahan tersebut sudah kosong dan tidak digunakan.

“Lahan itu eks (kebun) kina, sudah lama kosong. Lebih jauh, kewenangan kerja sama berada di bagian optimalisasi aset kantor regional,” jelasnya.

Diberitakan sebelumnya, Walhi Jabar melihat adanya perusakan tersebut akan menghilangkan daya serap air yang alami. Padahal seharusnya daya serap tersebut hanya bisa tertampung oleh tanaman teh.

“Jadi pada musim hujan akan menimbulkan larian air atau run off yang tinggi dan menggerus material tanah yang tidak menutup kemungkinan dapat memicu banjir bandang,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Jabar, Wahyudin Iwang, kepada awak media, Selasa (2/12/2025).

Wahyudin menduga PTPN kerap menjadikan lahannya untuk dikerjasamakan kepada perusahaan atau individu yang memiliki modal kuat. Kemudian lahan tersebut kerap digunakan untuk usaha pertanian jenis sayuran kentang.

“Catatan kami praktik tersebut telah dilakukan selama kurun waktu 20 tahun yang lalu,” katanya.

Pihaknya mengaku ragu dengan hasil rilis PTPN yang menyebutkan area yang mengalami kerusakan sebesar 150 hektare. Menurutnya data tersebut tidak sesuai dengan realita yang ada di lapangan.

“Sementara di lapangan angkanya bisa lebih besar dari itu, dan dalang utamanya PTPN sendiri untuk memberikan keleluasaan pengelolaan lahan kepada perusahan untuk kepentingan pertanian sayuran,” tegasnya.

Menurutnya perubahan area perkebunan teh menjadi sayuran adalah pelanggaran berat. Kata dia, hal tersebut bisa dilakukan penindakan secara tegas oleh aparat penegak hukum.

“Sudah seharusnya dapat ditindak serta diberikan sanksi jika hal tersebut terjadi,” ujarnya.

Adanya alih fungsi perkebunan teh menjadi sayuran akan membuat daya serap air menghilang. Sehingga larian air pada saat hujan akan menggerus tanah yang menyebabkan sedimentasi tinggi ke sungai.

“Jika terjadi salah satu pemicu kuat akan terjadinya bencana banjir lumpur,” bebernya.

Wahyudin mengungkapkan peran pemerintah masih lemah dalam mengawasi permasalahan tersebut. Dia menegaskan tidak ada pengawasan secara ketat yang membuat permasalahan tersebut masih terjadi hingga saat ini.

“Ironinya selama HGU dikantongi PTPN tidak pernah ada upaya audit yang dilakukan oleh pemerintah. Bahkan cenderung tidak ada proses kontrol serta pengawasan yang ketak kepada PTPN ketika izin diberikan. Sehingga tidak heran selama ini pemerintah tidak mengetahui fakta-fakta yang telah di lakukan oleh PTPN untuk membuat kerjasama yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan,” ucap Wahyudin.

Gambar ilustrasi