Tradisi Mermule, Wujud Pelestarian Budaya-Kebersamaan Warga Desa Tambi

Posted on

Setiap tahun, Desa Tambi di Kecamatan Sliyeg, Kabupaten Indramayu, selalu ramai oleh masyarakat yang datang dari berbagai daerah. Mereka berkumpul untuk mengikuti tradisi Mermule, sebuah kegiatan budaya yang sarat nilai spiritual, sejarah, dan kebersamaan warga.

Tradisi yang telah diwariskan turun-temurun ini tidak hanya menjadi agenda tahunan, tetapi juga bentuk nyata pelestarian kearifan lokal yang terus dijaga oleh masyarakat.

Menurut Moh Rifqi, warga setempat sekaligus panitia pergantian juru kunci Makam Mbah Buyut Tambi, Mermule memiliki makna yang dalam bagi warga.

“Mermule itu ada maknanya, asal katanya Mule. Kata Mule sendiri ada dua makna, yaitu mula atau permulaan yang berarti awal, dan ada juga makna bahwa Mule itu diambil dari kata Mulia,” kata Rifqi saat ditemui di Desa Tambi baru-baru ini.

Rifqi menjelaskan, tradisi Mermule erat kaitannya dengan sosok Mbah Buyut Tambi, seorang ulama penyebar ajaran Islam yang hidup pada abad ke-15 dan kini makamnya sering dikunjungi para peziarah.

“Mbah Buyut Tambi itu seorang ulama yang menyebarkan Islam pada masa abad ke-15,” terang Rifqi.

Pelaksanaan tradisi Mermule diisi dengan berbagai kegiatan adat. Salah satunya adalah perawan buyung, ketika anak-anak perempuan mengambil air dari Sumur Gede, peninggalan Mbah Buyut Tambi, untuk disajikan kepada para tamu.

“Perawan Buyung itu, anak-anak perempuan, mereka mengambil air dari sumur gede untuk minumnya para tamu. Itu termasuk dari rangkaian acara tradisi. Sumur gede itu sendiri merupakan peninggalannya Mbah Buyut Tambi,” kata dia.

Selain perawan buyung, warga juga menggelar tahlil akbar di kompleks makam Mbah Buyut Tambi. Setiap pelaksanaannya, acara ini selalu dipadati masyarakat dari berbagai daerah.

“Yang hadir saat tahlil akbar biasanya sampai memenuhi lokasi,” kata Rifqi.

Keesokan harinya, rangkaian tradisi dilanjutkan dengan acara ngunjung, yaitu kegiatan makan bersama yang diikuti warga dengan membawa berbagai jenis makanan sebagai simbol syukur dan kebersamaan.

“Ngunjung itu biasanya acaranya pagi, warga pada bawa makanan dan dimakan bersama,” ucap Rifqi.

Ia menuturkan, tradisi Mermule rutin digelar setiap tahun pada minggu-minggu terakhir bulan September. Dahulu, waktu pelaksanaannya disesuaikan dengan masa panen, namun kini sudah ditetapkan pada bulan tersebut agar lebih terjadwal.

“Digelarnya setiap bulan sembilan, di minggu-minggu terakhir. Kalau dulu sih patokannya kalau panen, tetapi sekarang sudah dipatok bulan September,” kata dia.

Rifqi menyebut, antusiasme masyarakat terhadap tradisi Mermule sangat tinggi. Warga dari daerah lain seperti Subang, Karawang, dan Cirebon turut hadir untuk mengikuti acara.

“Saat tahlil akbar yang hadir itu ada yang dari Subang, Karawang, Cirebon. Lokasi acara sampai penuh,” terang Rifqi.

Sementara itu, Subkoordinator Cagar Budaya dan Museum pada Bidang Kebudayaan Disdikbud Kabupaten Indramayu, Suparto Agustinus, menilai tradisi Mermule merupakan bagian penting dari identitas budaya masyarakat Desa Tambi yang perlu terus dijaga.

“Sampai sekarang tradisi itu masih terus dilestarikan,” ujar pria yang akrab disapa Tinus itu.

Menurutnya, tradisi seperti Mermule tidak hanya berfungsi sebagai kegiatan ritual, tetapi juga sarana mempererat solidaritas dan melestarikan nilai-nilai kearifan lokal yang diwariskan oleh para leluhur.