Dalam beberapa waktu terakhir, publik digegerkan oleh serentetan kasus asusila yang dilakukan oleh pria lanjut usia. Mulai dari mencabuli anak-anak di Bandung Barat hingga melakukan pelecehan terhadap sebayanya di Tasikmalaya.
Perilaku ini menimbulkan pertanyaan besar, apa yang membuat seorang kakek dengan usianya yang sudah lanjut nekat melakukan tindakan bejat seperti itu?
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung Efni Indriani menilai fenomena tersebut bukan disebabkan oleh faktor usia, melainkan oleh gangguan seksual yang sudah terbentuk sejak lama, bahkan sejak masa muda. “Sebenarnya kalau pelaku pedofilia tidak ada batasan umur ya, jadi artinya bisa dilakukan oleh remaja, dewasa, termasuk usia lanjut,” ujar Efni saat diwawancarai infoJabar, Rabu (15/10).
Menurutnya, usia tua bukan pemicu perilaku menyimpang, melainkan kronologi panjang dari kondisi psikologis yang tak tertangani sejak dini. “Intinya kalau mereka sudah melakukan hal itu, mereka termasuk dalam golongan yang mengalami gangguan seksual,” jelasnya.
Efni menjelaskan gangguan seksual seperti pedofilia atau hiperseksualitas pada dasarnya tidak bisa disembuhkan sepenuhnya. Seseorang yang sejak muda terpapar konten pornografi berpotensi mengalami kecanduan, dan efek itu bisa bertahan hingga lanjut usia.
“Sejak dini seseorang itu terpapar pornografi, otomatis dia adiksi pornografi. Kondisi ini tidak akan sembuh sampai tua,” ujarnya.
Karena itu, banyak kasus di mana pelaku lanjut usia sebenarnya sudah lama menyimpan kelainan tersebut. “Makanya kadang-kadang kalau beberapa terapi yang dilakukan itu kombinasi dari psikolog dan dokter,” ujar Efni.
Ia mencontohkan di sejumlah negara lain, penderita gangguan hiperseksual kerap diberi obat penekan dorongan seksual, sedangkan di Indonesia penanganan seperti itu masih sangat jarang dilakukan. “Kalau di luar negeri misalnya, yang hiperseks mereka diberi obat untuk menekan dorongan seksualnya. Namun di Indonesia itu seringkali dibiarkan begitu saja, dan alhasil seseorang ini dari dini sudah mengalami kondisi itu dan pasti berlanjut sampai tua,” katanya.
Efni menegaskan, asumsi bahwa kakek-kakek melakukan tindakan cabul karena tidak bisa menyalurkan hasrat seksual adalah keliru. Menurutnya, faktor usia justru cenderung menurunkan gairah seksual, bukan memperkuatnya.
“Bukan karena dia tua kemudian melakukan pedofil, tidak seperti itu, ada kronologis sebelumnya,” tegasnya.
“Justru kalau usia lanjut itu dia tidak ada adiksi pornografi, seringkali dorongan seksualnya mengalami penurunan. Bahkan bisa saja mereka kehilangan gairah,” lanjut Efni.
Dengan kata lain, perilaku cabul di usia lanjut bukan muncul secara tiba-tiba, tetapi buah dari kebiasaan menyimpang yang tidak pernah diatasi sejak muda.
Efni menyoroti bahaya besar dari paparan pornografi jangka panjang. Ketika seseorang sejak remaja sering mengonsumsi konten pornografi tanpa pengawasan, kecanduan itu bisa menimbulkan distorsi persepsi seksual yang berujung pada perilaku menyimpang.
“Betul dan itu tidak ditanggulangi. Karena kadang pihak keluarga tidak tahu, bisa saja dulu yang bersangkutan melakukan tapi tidak ada yang mengetahui,” jelasnya.
Kecanduan pornografi, menurut Efni, sulit dideteksi karena tidak tampak secara fisik. Gejalanya tersembunyi, sehingga hanya orang-orang terdekat yang peka yang bisa menyadarinya.
“Memang adiksi pornografi tidak kelihatan secara fisik dan bahkan secara perilaku belum tentu terlihat. Makanya ini mirip seperti psikopat, hidden, dia sulit terdeteksi secara fisik maupun tampilan,” ujar Efni.
“Tapi biasanya orang yang peka mengamati gerak-gerik itu bisa mengobservasi, tapi harus orang-orang terdekat,” tambahnya.