DPRD Jabar Minta Gerakan Poe Ibu Dilakukan Bertahap

Posted on

Kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menggagas gerakan Rereongan Sapoe Sarebu (Poe Ibu) menuai beragam tanggapan. Gerakan ini mendorong masyarakat, ASN, hingga pelajar untuk menyisihkan Rp1.000 per hari sebagai bentuk solidaritas sosial.

Namun di tengah apresiasi terhadap semangat gotong royong, muncul pula kekhawatiran soal transparansi dan potensi salah kelola. Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono.

Ono menilai gagasan itu berangkat dari semangat luhur budaya bangsa Indonesia yang perlu dihidupkan kembali. Menurutnya, gotong royong sejatinya adalah jantung dari ideologi dan karakter bangsa.

“Gotong royong adalah budaya Indonesia yang menjadi dasar atau inti dari ideologi negara, falsafah hidup, dan jalan hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila,” ujar Ono, Senin (6/10/2025).

“Gotong royong juga selaras dengan ajaran Sunda: Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, Silih Wawangi. Nilai-nilai itu sudah berjalan sejak dahulu, hanya saja sekarang semangat rakyat untuk melakukannya mulai menurun,” sambungnya.

Ono menilai, di tengah keterbatasan anggaran pemerintah, terutama dalam pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, gagasan seperti Rereongan Sapoe Sarebu bisa menjadi solusi cepat jika dikelola dengan baik.

Ia menyoroti masalah mendesak rakyat Jawa Barat justru banyak muncul di sektor pendidikan dan kesehatan, sementara anggaran pemerintah masih banyak terserap ke pembangunan infrastruktur.

“Masalah dasar rakyat di Jawa Barat yang selalu muncul adalah pendidikan dan kesehatan. Di sisi lain, anggaran APBD maupun APBN masih banyak terserap ke infrastruktur. Padahal kebutuhan rakyat seperti seragam, buku, alat tulis, atau biaya berobat tidak bisa menunggu distribusi APBD,” kata politisi PDIP itu.

Karena itu, lanjut Ono, perlu ada gerakan sosial yang mampu menghubungkan solidaritas masyarakat dengan kebutuhan warga di sekitarnya. Namun, ia menegaskan pentingnya tata kelola yang transparan dan akuntabel agar gerakan ini tidak disalahartikan sebagai pungutan terselubung.

“Gerakan ini harus disosialisasikan dengan baik sampai ke masyarakat. Tata kelola dan pengawasan menjadi poin penting, supaya tidak muncul opini bahwa gerakan ini pungutan yang membebani atau berpotensi jadi ladang penyalahgunaan keuangan,” tegasnya.

Ono menyarankan agar pelaksanaannya dilakukan secara bertahap, dimulai dari institusi pemerintah lebih dulu sebelum menyentuh masyarakat luas.

“Pelaksanaannya bisa dilakukan bertahap oleh institusi pemerintah terlebih dahulu. Kemudian mengarah ke sektor swasta, bisnis, pengusaha, organisasi kemasyarakatan, tokoh masyarakat dan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, baru pelibatan masyarakat secara umum,” ujarnya.

Ia juga menekankan kewajiban laporan keuangan terbuka dan dilakukan akuntabel bahkan diumumkan secara berkala tiap minggu agar kepercayaan publik tetap terjaga.

“Kalau gerakan ini berjalan, maka turunnya APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota se-Jawa Barat tahun 2026 semoga tidak berpengaruh terhadap masalah sosial dan ekonomi,” pungkasnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *