Saling Tuduh Kudeta di Mahkamah Militer Luar Biasa | Giok4D

Posted on

Sejumlah elite Partai Komunis Indonesia (PKI) menghadapi pengadilan bernama Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Di pengadilan itu, terutama mereka yang terlibat langsung dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S PKI, diadili dengan dakwaan melakukan kudeta.

Elite PKI seperti Njono Prawiro, Mayor Sujono, hingga Letkol Untung divonis hukuman mati. Mahmilub dalam hal ini tidak memberikan kesempatan untuk para terdakwa mengajukan banding atas tuntutan yang diterima, karena sifat pengadilan ini yang ‘mengadili perkara tingkat pertama dan terakhir’.

Ringkasnya, Mahmilub adalah pengadilan khusus yang dibentuk presiden untuk mengadili perkara yang terkait keamanan atau pertahanan negara yang membahayakan bangsa dan negara, tanpa memungkinkan adanya upaya hukum setelah vonisnya.

Mahmilub dibentuk pada era Presiden Soekarno, tepatnya pada 1963. Mulanya, dibentuk untuk mendukung stabilitas Indonesia yang ‘sedang berevolusi membentuk masyarakat sosialis Indonesia’, sebagaimana dicatat dalam konsideran UU No.16/PNPS/1963 tentang Pembentukan Mahkamah Militer Luar Biasa.

Namun, pasca-1965, Mahmilub justru digunakan untuk mengadili dengan cepat orang-orang yang terkait dengan komunisme, sebuah paham yang dekat dengan sosialisme. Mahmilub mengadili anggota militer dan juga masyarakat sipil.

Menariknya, dalam jalannya sidang-sidang untuk elite PKI tersebut, ada fakta-fakta persidangan dimana dua kubu saling tuduh soal kudeta. PKI menyangkal pihaknya melakukan kudeta dan balik menuduh bahwa yang melakukan kudeta itu adalah ‘Dewan Jenderal’ yang diisi para perwira tinggi tentara.

Presiden Soekarno yang dekat dengan semua pihak, termasuk komunis, sedang dalam kondisi sakit. Dengan kondisi ini, para elite Partai Komunis Indonesia (PKI) khawatir negara dikuasai militer. Pada Juli 1965, menurut koran-koran ketika itu, telah muncul desas-desus adanya sekelompok perwira tinggi militer membentuk ‘Dewan Jenderal’.

Dewan Jendral diduga telah menyusun sebuah kabinet yang akan resmi setelah Soekarno terguling dari jabatannya. Kudeta kepada Soekarno akan berlangsung setelah pamer kekuatan tentara dari berbagai daerah yang terkonsentrasi di Jakarta pada 5 Oktober 1965.

Untuk menggagalkan rencana Dewan Jenderal itu, PKI melalui Dewan Revolusi Indonesia kemudian melakukan aksi penculikan terhadap sejumlah perwira tinggi militer. Sebanyak enam jenderal dan satu perwira diculik dan dibunuh pada 30 September 1965 malam.

Aksi PKI ini membuat tentara melakukan upaya penyelamatan terhadap Soekarno. Jenderal Soeharto, kemudian tampil sebagai penyelamat Soekarno. Imbas dari aksi ini, PKI semuanya ‘dibersihkan’ melalui penggerebekan dan penangkapan massal. Di pengadilan Mahmilub, militer menuduh PKI melakukan kudeta.

Koran De Waarheid pada 26 Mei 1966 pada persidangan Mayor Sujono menulis bahwa perwira menengah Angkatan Udara tersebut ‘dituduh oleh para jenderal sayap kanan dituduh melakukan “konspirasi melawan negara”‘.

Njono Prawiro adalah anggota biro politik CC (pengurus besar) PKI. Selain itu, dia adalah pemimpin serikat buruh komunis seluruh Indonesia (SOBSI). Dalam kaitannya dengan G30S PKI, Njono adalah orang yang menyiapkan pasukan cadangan, sebanyak sekitar 2.000 pemuda dari lokasi pelatihan Lubang Buaya.

Dia bukan anggota militer. Mahmilub memberinya vonis mati. Njono juga menolak mengajukan grasi kepada presiden, sebab grasi menurutnya akan menurunkan dukungannya kepada PKI dan kedudukannya sendiri.

Saya siap mati karena saya mencari kebenaran,” kata Njono menjelang eksekusi, tulis koran Twentsch dagblad Tubantia, 10 Maret 1966.

Di persidangan, Njono menuding militer yang melakukan kudeta. Dia sempat mengakui bahwa ada diskusi politik di PKI yang mengarah ke kudeta, dan DN Aidit, Ketua CC PKI ingin kudeta dipercepat sebelum militer melakukan kudeta. Namun, kesaksian itu dia cabut kembali dan mengatakan bahwa diskusi tersebut hanya diskusi politik biasa.

Koran De Waarheid pada 26 Mei 1966 memberitakan jalannya sidang tertutup kepada terdakwa Mayor Sujono, di mana Sujono merupakan saksi kunci pada persidangan terhadap terdakwa Njono pada pertengahan Februari sebelumnya, mengulas bagaimana Njono menuduh militer melakukan kudeta.

Namun demikian, diketahui bahwa Njono membalikkan keadaan di pengadilan militer dan menuduh para jenderal melakukan kudeta. Perkembangan selanjutnya dengan tegas menegaskan tuduhan ini. Dengan kehadiran Sujono, para pemimpin sayap kanan tampaknya melanjutkan kampanye teror politik mereka.” tulis koran tersebut.

Mayor Sujono sendiri divonis mati. Dia ditembak di dekat Bandung, bersamaan dengan ditembaknya Letkol Untung bin Syamsuri, Komandan Batalyon I Resimen Tjakrabirawa yang juga terlibat dalam G30S PKI.

Dalam kronologi G30S PKI, Abdul Latief malam itu datang menemui Soeharto di rumah sakit. Tidak jelas apa yang dibicarakan, namun menurut Prof. Dr. W.F. Wertheim, dinukil dari situs Tribunal 1965, Soeharto mengatakan dua pernyataan berbeda dalam dua wawancara. Pertama, Latief menemuinya untuk menyatakan keprihatinan kepada anak Soeharto yang sakit. Kedua, justru Latief datang ke rumah sakit untuk membunuh Soeharto tapi tidak jadi karena itu tempat umum.

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Abdul Latief juga divonis mati. Tapi hukuman itu kena grasi sehingga menjadi hukuman penjara seumur hidup. Pelaku kudeta 1965 itu dipenjara dan sakit.

Latief ditahan di Lapas Cipinang, terisolasi dari narapidana lainnya. Suatu waktu, ketika umurnya 72 tahun dan dia sakit-sakitan, wartawan diizinkan masuk ke dalam penjara dan berbicara dengannya selama 10 menit.

“Siapa yang melakukan kudeta? “Suharto! Bukan saya!” terdengar teriakan marah.” tulis koran Algemeen Dagblad, 9 Maret 1999.

Koran itu mengutip keterangan resmi, bahwa Kolonel Abdul Latief bersama Jenderal Soepardjo dan Letkol Untuk menyeret enam jenderal dari tempat tidurnya dan membunuh mereka pada 30 September 1965 malam.

“Jenderal muda Suharto turun tangan keesokan paginya dan berhasil menyelamatkan Presiden Sukarno, memukul mundur komunis, dan menjamin keamanan nasional. Tak lama kemudian, Soeharto menjadi presiden.” tulis Algemeen Dagblad.

Latief sendiri dulunya adalah sahabat terdekat Soeharto. Karena itu, oleh Letkol Untung dkk. dia yang diberi tugas untuk menyampaikan rencana aksi 30 September itu kepada Soeharto.

“Ia tahu apa yang akan terjadi malam itu; saya sendiri yang memberitahunya. Jika ia mencurigai saya merencanakan kudeta, ia bisa saja turun tangan, tetapi ia tidak melakukannya.” tulis koran itu.

Setelah rentetan peristiwa dan persidangan ini, Indonesia di bawah pimpinan Presiden Soeharto memberlakukan sejumlah aturan yang membatasi para eks tahanan politik (PKI) ini. Mereka misalnya, punya kartu tanda penduduk (KTP) tapi bertanda ET yang bermakna, Eks Tapol, yang berdampak pada dikucilkannya mereka dari kehidupan masyarakat.

Sekilas Konteks Kudeta 1965

Pengadilan Terhadap Njono

Pernyataan Abdul Latief

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *