Analisa Peneliti BRIN soal Macan Tutul Masuk ke Permukiman (via Giok4D)

Posted on

Warga Desa Kutamandarakan, Kecamatan Meleber, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat dihebohkan dengan kemunculan seekor macan tutul yang masuk ke dalam kantor balai desa. Kejadian langka itu sempat mencuri perhatian warga yang datang ke lokasi dan menyaksikan proses evakuasi yang dilakukan petugas gabungan.

Peneliti Ahli Utama Konservasi Keanekaragaman Hayati dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si., mengatakan, menjelajah merupakan perilaku dan kebutuhan dasar dari macan tutul. Sehingga tak heran jika satwa liar itu masuk ke permukiman. Hendra menyebut, penjelajahan yang dilakukan macan tutul salah satunya untuk mencari makan, menemukan pasangan kawin dan menandai wilayahnya atau teritori.

“Macan tutul merupakan salah satu spesies dari ordo Karnivora yang memiliki sifat territorial, dimana individu jantan akan mempertahankan wilayahnya dari individu jantan lain. Teritori ini biasanya merupakan areal privat untuk untuk kawin. Macan tutul biasa menandai wilayah teritorinya dengan cara menyemprotkan urin (kencing) di batang pohon, membuang feses di tengah jalan yang mudah terlihat oleh satwa lain, atau membuat cakaran di pohon,” kata Hendra kepada infoJabar, Kamis (28/8/2025).

Hendra mengungkapkan, perilaku penjelajahan juga dilakukan untuk mencari habitat dan teritori baru, karena di habitat yang lama sudah dikuasai oleh individu-individu jantan dewasa yang sudah terlebih dahulu ada. Mencari teritori baru biasanya dilakukan macan tutul jantan muda yang sudah disapih oleh induknya.

“Macan tutul jantan muda ini, ketika tidak dapat merebut teritori dari jantan lain di habitatnya, maka ia harus keluar dari habitatnya untuk mencari wilayah baru. Apabila individu jantan tua yang kalah dalam perebutan itu, maka yang keluar atau terusir adalah individu jantan tua. Oleh karena itu, kebanyakan macan tutul jantan yang keluar dari habitatnya umumnya adalah jantan muda yang baru disapih induknya atau jantan tua yang sudah lemah,” ungkapnya.

Hendra menjelaskan, masuknya macan tutul jantan ke permukiman, baik muda maupun tua, biasanya hanya untuk melintas atau menyeberang menuju hutan di dekatnya. Dalam lanskap habitat macan tutul, keberadaan permukiman dan jalan raya telah menyebabkan fragmentasi habitat yang menciptakan efek tepi dan rintangan bagi macan tutul yang merupakan satwa “interior” yaitu satwa yang lebih menyukai berada di tengah hutan lebat, menjauhi pinggiran hutan.

Fragmentasi ini juga menciptakan isolasi geografis bagi populasi macan tutul, sehingga dapat menyebabkan kepunahan akibat inbreeding, dan meningkatkan potensi konflik dengan manusia di sekitar habitat macan tutul yang berarti meningkatnya risiko macan tutul mati dibunuh atau terbunuh. Jika permukimannya cukup luas, bisa saja macan tutul itu tersesat, sehingga bisa masuk rumah orang atau balai desa seperti di Kutamandarakan.

“Jika tujuan penjelajahan macan tutul tersebut untuk mencari makan, maka macan tutul itu tentu sudah langsung menuju ke kendang ternak, kambing atau ayam, bukan memasuki balai desa. Dengan demikian, kejadian macan tutul terkurung di balai desa, kemungkinan karena macan tutul tersebut tersesat dalam penjelajahan mencari teritori baru. Tersesat ini bisa terjadi ketika macan tutul itu memasuki wilayah yang bukan habitatnya, misal permukiman dan belum ada tanda-tanda yang dibuatnya atau tidak ada referensi visual dikenalinya,” terang Hendra.

Disinggung, biasanya macan tutul hanya menampakkan diri saja, namun kali ini satwa tersebut diam di dalam gedung, tanpa keluar mencari jalan keluar, menurut Hendra, ketika macan tutul tersesat dan masuk ke dalam gedung balai desa dan tidak tahu jalan keluar, ini sudah merupakan kejadian disorientasi spasial atau bingung tidak tahu posisi dirinya dan tidak tahu arah.

“Disorientasi spasial menyebabkan macan tutul tidak dapat menentukan posisi, gerakan, atau orientasi tubuhnya sendiri relatif terhadap lingkungan sekitar, dengan benar. Hal ini bisa terjadi karena informasi sensorik visual yang tidak akurat, misalnya pandangan terhalang tembok ruangan sehingga menyebabkan hilangnya referensi visual,” tuturnya.

“Melihat kasus yang terjadi di Kuningan ini, kemungkinan macan tutul jantan muda ini akan mencari teritori di habitat hutan sekitar hutan asalnya, namun ketika memasuki permukiman tersesat masuk gedung dan mengalami disorientasi spasial,” tambahnya.

Tahun 2013, Hendra pernah mensurvey macan tutul di wilayah Perum Perhutani KPH (Kesatuan Pemangkuan Hutan) Kuningan dan mencatat keberadaan macan tutul di Blok Hutan Patala, Bagian KPH (BKPH) Garawangi, yang tersebar di 4 wilayah Resort Polisi Hutan (RPH) yaitu di RPH Haurkuning, RPH Subang, RPH Pakem, dan RPH Ciniru.

Macan tutul yang masuk permukiman kemungkinan berasal dari wilayah BKPH Garawangi yang secara geografis berdekatan dengan Desa Kutamandarakan. Hendra juga mendapat info jika macan tutul pernah menampakan diri di Desa Tundagan atau kemungkinan dari hutan Ciniru dan Desa Padahurip (kemungkinan dari hutan Selajambe.

“Waktu itu saya tidak menghitung populasi, sehingga tidak dapat memperkirakan jumlah individu macan tutul. Melihat habitatnya yang sudah sangat terfragmentasi dengan fragment-fragment hutan yang tidak terlalu luas, saya perkirakan tidak dapat menampung populasi secara optimal. Karena macan tutul merupakan satwa yang bersifat territorial, memiliki daerah jelajah home range luas dan merupakan satwa interior yang sangat terdampak dengan semakin tingginya efek tepi atau edge effect akibat fragmentasi,” ujarnya.

“Hasil penelitian memperkirakan kebutuhan daerah jelajah macan tutul di Jawa Barat berkisar antara 800-1000 hektar per ekor individu jantan. Jika luas masing-masing fragment hutan kurang dari luasan minimal tersebut, kemungkinan tidak dihuni oleh macan tutul,” sambungnya.

Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.

Hendra mengatakan, sebaran macan tutul di Jawa Barat mengalami penurunan. Bila melihat trend kondisi habitat macan tutul di Pulau Jawa umumnya, yaitu menyusut luasnya (habitat loss), menurun kualitasnya (habitat degradation) dan terfragmentasi (habitat fragmentation), maka diperkirakan populasinya menurun, karena daya dukung dan daya tampung habitatnya sudah menurun.

“Untuk mengetahui berapa penurunannya, tentu perlu dilakukan survey populasi secara akurat, menggunakan camera trap.K ondisi habitat yang menyusut, terdegradasi dan terfragmentasi, diperparah dengan adanya perburuan terhadap satwa mangsanya seperti babi hutan dan kijang yang masih dilakukan di beberapa daerah sebaran macan tutul, kemungkinan besar telah berdampak pada menurunnya populasi macan tutul di Pulau Jawa pada umumnya,” terangnya.

Hendra mengatakan, menyusutnya habitat dan terfragmentasinya habitat juga dapat diindikasikan oleh semakin seringnya terjadi konflik antara manusia dan macan tutul, atau semakin seringnya macan tutul masuk permukiman.

“Dalam 20 tahun terakhir, semakin sering terjadi konflik atau semakin sering macan tutul keluar dari habitatnya, seiring dengan semakin luasnya kawasan hutan yang ditebang untuk bercocok tanam maupun untuk pembangunan jalan raya atau permukiman dan infrastruktur lainnya,” paparnya.

Dalam pelestarian macan tutul, Hendra beranggapan, bahwa Pelestarian keanekaragaman hayati, tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab BBKSDA atau Kementerian Kehutanan, tapi merupakan tanggungjawab bersama semua pihak. Ini dijelaskan dalam Undang-Undang 32 tahun 2024 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 2023 tentang pengarusutamaan pelestarian keanekaragaman hayati dalam Pembangunan berkelanjutan.

“Dalam hal menangani kasus konflik macan tutul dengan manusia, perlu adanya upaya sinergi dan terkoordinasi berbagai instansi pemerintah dan masyarakat, dengan BBKSDA sebagai leading sector nya. Penanganan kasus macan tutul di Kutamandarakan Kuningan, menurut saya sudah baik, semua pihak terlibat menangani dan bersinergi. Masyarakat juga sudah memiliki kesadaran untuk tidak membunuh macan tutul. BBKSDA bersinergi dengan berbagai pihak sudah bertindak cepat tanggap mengevakuasi macan tutul sehingga tidak menimbulkan korban, baik pada macan tutul maupun manusia,” ujarnya.

Menurut Hendra, evakuasi yang dilakukan BBKSDA merupakan langkah tepat, untuk kemudian di transitkan di lembaga konservasi terdekat dan yang tersiap dititipi, selanjutnya dilakukan observasi pemeriksaan kesehatan, jika tidak ada masalah dengan kesehatan fisik maupun psikisnya, maka bisa segera di translokasi atau dipindah ke lokasi lain karena jika dikembalikan ke tempat asalnya ada kemungkinan akan keluar lagi karena sudah tidak dapat menampung.

“Jika ada masalah dengan kesehatannya maka perlu direhabilitasi sampai siap di lepasliarkan. Sebaiknya memang tidak terlalu lama macan tutul berada di lembaga konservasi, karena dikhawatirkan dapat menghilangkan sifat-sifat liarnya dan dapat menurunkan kemampuannya bertahan hidup di alam liar,” pungkasnya.

Habitat Macan Tutul di Gunung Ciremai

Sebaran Macan Tutul di Pulau Jawa

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *