Kisah Legenda Sungai Cisokan: Kerajaan Tanjung Singuru dan Jaka Susuru

Posted on

Sungai Cisokan yang megah, sungai yang pernah disinggahi peziarah Sunda kuno Bujangga Manik, alirannya melintas ke daerah Bojongpicung, Kabupaten Cianjur. Daerah yang oleh warga lokal disebut Bonjopi.

Sungai itu, menjadi saksi bisu pernah berdiri kerajaan besar di wilayah tersebut. nama Kerajaannya Tanjung Singuru dengan rajanya bernama Munding Mintra Kasiringan Wangi atau Jaka Susuru, anak Prabu Siliwangi VII.

Nama ‘Singuru’ dan ‘Susuru’ mungkin tidak tersisa. Namun, ada bendungan yang dibuat oleh koloni Belanda di wilayah itu dan hingga kini masih berfungsi menggunakan penggalan ‘-suru’, namanya Bendungan Cisuru. Bendungan itu mengalirkan air dari Cisokan ke irigasi yang mengairi ribuan hektar lahan persawahan di wilayah tersebut dan sekitarnya.

Kata ‘Suru’ tidak ditemukan dalam bahasa Sunda. Namun ‘Susuru’ pada nama Jaka Susuru merujuk kepada sebuah jenis pohon (Euphorbia antiquorum) yang mirip kaktus namun rindang, berbunga dan berbuah, serta di alam liar tingginya bisa mencapai 20 meter.

Kisah Kerajaan Tanjung Singuru di wilayah itu terekam dalam Carita Pantun Jaka Susuru. Dalam pencarian di internet, Pantun Jaka Susuru ini dikaitkan dengan Babad Cianjur. Bagaimana kisahnya? Simak hingga tuntas yuk infoers!

Namanya Munding Mintra Kasiringan Wangi sebelum ganti nama menjadi Jaka Susuru. Dia adalah lelaki lajang putra Prabu Siliwangi VII. Berbeda dengan putranya yang lain yang telah menikah, Prabu Siliwangi meminta Kasiringan Wangi untuk terlebih dahulu menjadi raja di wilayah baru.

Dia harus melanglang ke Alas Pasagi Wetang, sebuah hutan yang berada di timur Pajajaran. Kasiringan Wangi ditemani dua tumenggung, yaitu Sewana Giri dan Sewana Guru. Mereka lalu berangkat ke timur.

Lama mencari, ditemukanlah tempat yang disebut ‘leuweung ganggong simagonggong’, hutan belantara lebat, tempat itu diyakini yang sesuai dengan perintah Sang Tohaan di Sunda, Prabu Siliwangi VII. Maka, setelah dirasa pas, dia akan mendirikan istana di situ.

Carita pantun, sebagaimana umumnya, sering menampilkan kisah hubungan antara manusia dengan dewata, termasuk hubungan-hubungan yang sifatnya meminta-mengabulkan.

Dalam carita pantun Jaka Susuru ini, kejadian serupa juga muncul. Yakni, ketika Munding Mintra Kasiringan Wangi meminta bantuan untuk mendirikan istana kerajaan.

“Tuluy Radén Munding Mintra neneda ka jimatna Makuta Siger Kancana, sarta neneda ka Déwa Batara Sanghiang Utipati. Dimakbul panedana, tuluy éta tanah dicipta, jleg jadi nagara, sarta maké bénténg 5 lapis, salapis bénténg beusi, salapis waja, parunggu, pérak, lapis nu pangjerona beusi purasani. Ti dinya neneda deui ka Déwa mundut pamuk 8.000, baladna 80.000, badégan 65 nu purah ngurus di Karaton.”

(Lalu Raden Munding Mintra memohon menggunakan jimatnya Makuta Siger Kancana, lalu memohon kepada Batara Otipati. Permohonannya dikabulkan. Tanah yang dipijaknya itu tiba-tiba menjadi negara. Ada benteng 5 lapis: Lapisan besi, baja, perunggu, perak, dan lapis paling dalam besi persani. Lalu minta lagi kepada dewata, minta perwira 8 ribu, prajuritnya 80 ribu, penjaga sebanyak 65 yang tugasnya mengurus keraton.)

Kerajaan sudah ada, tapi belum ada namanya. Lalu kondisi itu dilaporkan kepada Prabu Siliwangi. Tohaan di Sunda lah yang kemudan memberi nama untuk kerajaan itu. Kerajaan itu dinamai Tanjung Singuru, dan Munding Mintra Kasiringan Wangi juga harus mengganti nama menjadi Jaka Susuru.

Jaka Susuru kini resmi menjadi raja di Kerajaan Tanjung Singuru. Akan teta[i, belum lengkap rasanya karena dia belum punya pawarang (istri). Maka, dimintalah tumenggung untuk mencarikan istri untuknya.

Saat itu, kocap tercerita ada dua putri cantik, Sekar Jayanti dan Jayanti Kembang dari Kerajaan Bitung Wulung. Memang sudah ada banyak yang datang melamar, namu Raja Bitung Wulung belum jua merelakan keduanya.

Datanglah utusan Jaka Susuru, menyebutkan bahwa kedua putri itu akan dilamar oleh turunan Pajajaran bernama Jaka Susuru. Mendengar ‘Pajajaran’, luluhlah hati Raja Bitung Wulung dan segera oleh dia sendiri, kedua putrinya diantarkan.

Pesta digelar tujuh hari tujuh malam, tetabuhan yang ramai terdengar sampai kerajaan tetangga. Di antaranya, oleh Badang Tamela Sukla Panarak Jaya, Raja Gunung Gumuruh.

Badak Pamalang sejak lama mengincar Sekar Jayanti yang diperistri Jaka Susuru. Ketika pesta pernikahannya terdengar, dia bertanya kepada adiknya tentang apa yang terjadi.

Ketika mendegar Sekar Jayanti yang menikah, Badak Tamela tergugah untuk menculiknya. Lebih jauh dari menculik, dia hendal mengudeta Jaka Susuru dari takhtanya.

Badak Tamela punya sebuah tempat bertama Kawah Domas, kawah untuk mengurung siapa saja yang dia inginkan terkurung. Maka, dia datang ke Jaka Susuru menyampaikan bakti bahwa ada intan sebesar anak kerbau yang dihadiahkan untuknya, tapi adanya di Kawah Domas, silakan ambil sendiri.

Mulanya tidak ada niatan Jaka Susuru mengambil, namun temenggungnya bilang bahwa tidak baik menolak pemberian. Sampai suatu hari, Jaka Susuru dan rombongan termasuk Badak Tamela berangkat ke Kawah Domas.

Saat Jaka susuru dan temunggungnya masuk, maka Kawas Domas itu ditutup dan dikunci. Mereka terkurung di dalamnya untuk 30 tahun. Badak Tamela senang, dia berpikir akan berhasil meraih cinta Sekar Jayanti.

Badak Tamela meminta Sekar Jayanti menjadi istrinya. Namun, Sekar Jayanti bukan perempuan murahan, ‘adat menak, budi ludeung’, dia teguh kepada janji setia terhadap suaminya, Jaka Susuru. Hingga dia dan Jayanti Kembang melarikan diri.

Hmm! Waktu itu, kehamilan mereka sudah menginjak sembilan bulan. Di tengah pelarian ke dalam hutan, mereka berdua melahirkan. Putra Sekar Jayanti diberi nama Heulang Boengbang Legantara Lungguh Tapa Jaya Perang. Sementara, putra Jayanti Kembang diberi nama Kebo Keremay Sakti Pangéran Giringsing Wayang.

Waktu berlalu, anak-anak beranjak dewasa. Pelarian terus berlanjut. Suatu hari, mereka sampai ke wilayah Kerajaan Tanjung Sumbara, rajanya Gajah Karumasakti.

“Tuan, kalau percaya, anak-anak ini adalah turunan Prabu Siliwangi, anaknya Jaka Susuru. Saya sendiri ibu anak-anak ini,” demikian kata Sekar Jayanti kepada Gajah Karumasakti. “Kalau boleh, tolong bangunkan Jaka Susuru ditahan di Kawah Domas oleh Raja Gunung Gumuruh.”

Mendengar cerita Sekar Jayanti, Karumasakti ‘surti’, dia mengerti apa yang harus diperbuat. Dia malah menawarkan diri untuk menyerang Kerajaan Tanjung Singuru. Dia lalu menyerangnya, berperang melawan Badak Tamela.

Namanya juga Karumasakti, tidak elok jika tidak sakti. Dan saking saktinya, Badak Tamela terdesak dan akhirnya kalah. Dia kemudian bersedia melepaskan Jaka Susuru. Bukan hanya melepaskan dan hengkan dari Tanjung Singuru, Badak Tamela juga menikahkan adiknya, Ratna Kembang Tan Gumilang kepada Jaka Susuru.

Jaka Susuru Mencari Wilayah

Mendirikan Istana dengan Bantuan Dewata

Menikahi Dua Putri dari Bitung Wulung

Menipu Jaka Susuru

Sekar Jayanti Kabur

Menyerang Tanjung Singuru

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *