Sebuah surat pernyataan penolakan penggunaan alat USG beredar luas di media sosial dan aplikasi perpesanan. Surat itu ditulis oleh salah seorang dokter spesialis jantung di RSUD Palabuhanratu.
Secara garis besar isi surat menyatakan penolakan terhadap salah satu merek alat USG karena dinilai tak sesuai untuk pemeriksaan jantung (echocardiography).
Direktur RSUD Palabuhanratu, Rika Mutiara angkat bicara soal itu. Ia mengungkapkan, bahwa surat tersebut dibuat pada Juli 2024 saat terjadi ketidaksesuaian alat dari vendor.
“Surat di bulan Juli 2024, itu ketika barang yang pertama dari vendor salah, jadi tidak sesuai,” ujar Rika saat dikonfirmasi, Senin (22/4/2025).
Rika mengaku, baru mengetahui keberadaan surat tersebut setelah ramai di media.
“Surat ini aku juga tidak sampai di aku. Kemana larinya surat ini? Ke PPTK. PPTK diminta oleh vendor untuk persyaratan pengembalian alat tersebut. Jadi pertama melihat surat ini, aku juga sama dari media baru tahu, baru aku tanya,” jelasnya.
Menurutnya, surat itu digunakan sebagai persyaratan administrasi untuk pengembalian alat yang dinilai tidak sesuai spesifikasi oleh dokter.
“Surat ini adalah persyaratan untuk penukaran alat. Sehingga alat itu akhirnya diganti,” kata Rika.
Namun, meski sudah diganti, alat tersebut masih belum sepenuhnya sesuai dengan harapan dokter.
“Kalau pertanyaannya sudah sesuai? Masih belum. Kira-kira spesifikasinya mendekati. Misalnya aku pengen sepatu merk A tapi dikasih merk lain, ya tetap beda rasanya,” ungkap Rika memberi analogi.
Menurutnya, bukan soal harga atau teknologi yang lebih tinggi, melainkan kecocokan dan kebutuhan spesifik praktik dokter.
“Dokter itu kan punya preferensi, misalnya lulusan UI, lalu terbiasa pakai alat merk A. Itu bukan berarti alat lain jelek, tapi soal kenyamanan dan akurasi yang biasa digunakan,” ujarnya.
Rika menjelaskan bahwa dalam proses pengadaan alat, terkadang terjadi perbedaan antara kebutuhan pengguna dan pemenuhan spesifikasi secara administratif oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).
“Kalau PPK melihat spesifikasi sudah masuk, ya sudah. Tapi dari sisi pengguna, bisa jadi merasa kurang pas. Ini soal populasi alat yang biasa digunakan oleh para dokter spesialis,” ujarnya.
Saat ini, alat tersebut digunakan di ruang rawat inap jantung, bukan di poliklinik, karena pertimbangan efisiensi dan keamanan alat.
“Alat itu sebenarnya bukan untuk poli, tapi untuk rawat inap. Supaya tidak didorong-dorong dari belakang ke depan yang jaraknya jauh,” jelasnya.
Ia juga menuturkan bahwa alat tersebut merupakan bagian dari pengadaan besar senilai lebih dari Rp 30 miliar yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) pusat.
“Kalau yang sesuai dengan permintaan dokter itu nilainya satu miliar lebih. Tapi ini bagian dari pengadaan besar. Rumah sakit hanya menerima bentuk alat dari pusat,” tutup Rika.