Bendera Baru di Rumah Reyot, Cara Ijang Rayakan Kemerdekaan dengan Sederhana

Posted on

Di Kampung Batusapi, RT 03 RW 01, Kelurahan/Kecamatan Palabuhanratu, sebuah rumah semi permanen tampak paling mencolok di antara deretan bangunan lain.

Bukan karena megah atau kokoh, justru karena sebaliknya. Dinding yang lapuk, plafon bolong, dan genteng bocor berdiri kontras dengan sehelai bendera merah putih baru yang berkibar gagah di tiang bambu depan rumah.

Bendera itu milik Ijang (64), seorang buruh serabutan yang hidup bersama istrinya, Sulastri (47), dan seorang anak yang kini sedang bekerja serabutan di Cisolok.

“Maknanya kan sebagai warga negara Indonesia. Orang-orang belum pasang, nggak tahu belum pasang, nggak tahu nggak pasang. Kalau saya maksain beli bendera, kesadaran diri, nasionalis. Saya belain beli ini, biar diaku sebagai warga negara walau kondisi rumah seperti ini,” candanya saat ditemui infoJabar, Jumat (15/8/2025).

Rumah Ijang berdiri di tepi kawasan Cagar Alam Tangkunan Parahu Palabuhanratu. Batas antara hutan dan pemukiman hanya ditandai kayu yang lapuk. Ketika hujan datang, air menetes dari atap bocor, menimpa ruang tamu yang sempit.

Saat angin bertiup, dinding dan plafon bergoyang seolah bisa runtuh kapan saja.

“Udah lama, udah berapa tahun mah daya tinggal di sini, hampir 4 sampai 5 tahun kondisinya rusak. Tinggal di sini udah hampir 10 tahun, saya tinggal di rumah yang memang berdekatan dengan cagar alam,” ungkapnya lirih.

Kesulitan bukan hanya soal hujan atau angin. Dari celah plafon belakang, kawanan monyet liar kerap menyelinap masuk ke dapur.

“Ya kalau siang kan monyetnya banyak, kalau nggak ada orang masuk. Kadang-kadang je rumah ke dalam, lewat belakang itu plafon belakang karena memang nggak tertutup, pada rusak. Nyuri makanan, ikan di dalam, nasi. Iya ada pernah kejadian seperti itu,” ceritanya.

Hari-hari Ijang diisi pekerjaan serabutan. Kadang ikut ke laut, kadang menjadi kuli bangunan di kampung. Begitu pun anaknya yang baru berusia 18 tahun, ikut kakaknya bekerja memasang gipsum di Cisolok.

“Wah susahlah, sedihlah. Berdua sama istri, anak satu 18 tahun, sekarang lagi libur dulu udah 3 hari, ikut sama abangnya kerja pasang gipsum di Cisolok. Kerjanya serabutan, sama seperti saya. Kalau istri biasa ibu rumah tangga,” kata Ijang.

Di antara puluhan rumah lain yang belum memasang bendera, rumah Ijang justru tampak paling menonjol. Sepotong kain merah putih baru, berdiri di tiang bambu sederhana, menjadi simbol harga diri yang dijaga meski kondisi rumah jauh dari kata layak.

Di balik genteng bocor, dinding lapuk, dan ancaman monyet dari cagar alam, Ijang merasa tetap merdeka. Caranya sederhana, membeli bendera baru dengan uang hasil keringatnya sendiri.

Ketua RW 01, M Fachmi Assegaf, mengaku sudah mengupayakan bantuan untuk keluarga Ijang. Proposal perbaikan rumah telah diajukan ke berbagai pihak.

“Ya setelah tahu rumah kondisinya seperti ini ya kita inisiatif bikin proposal, masukan ke Perkimsih, terus ke Dinsos, terus ke Pak Bupati. Kita belum masuk juga ke PLTU, mudah-mudahan perusahaan itu bisa memberikan bantuan berupa bahan-bahan material yang dibutuhkan oleh Mang Ijang ini untuk bedah rumahnya,” jelasnya.

Menurut Fachmi, di lingkungan Batusapi terdapat hampir 518 kepala keluarga. Sebagian besar bekerja sebagai petani, tukang ojek, atau buruh harian lepas.

“Upaya untuk Ijang sudah dilakukan, sudah dilakukan upaya-upaya agar bisa mendapatkan bantuan. Mayoritas warga di sini juga kondisi pekerjaannya nyaris serupa. Ya kita tunggu saja dari pemerintah atau mungkin dermawan. Kalau dari pemerintah belum ada realisasi, katanya hanya suruh nunggu ya sementara itu Itu dinding jebol, genting bocor enggak bisa menunggu,” imbuhnya.

Hidup Serabutan

Upaya Warga

Gambar ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *