Jangan sekali-kali melupakan sejarah atau Jasmerah. Semboyan itu diperkenalkan oleh mantan Presiden RI pertama, Ir. Soekarno saat upacara peringatan HUT ke-21 Indonesia tahun 1966 silam.
Sejarah khususnya soal Indonesia mengajarkan banyak hal. Berbicara soal tanah air, banyak sejarah yang perlu diketahui generasi penerus baik itu positif maupun negatif. Mengetahui sejarah bangsa, bisa melalui berbagai cara, salah satunya melalui komunitas.
Temu Sejarah, merupakan salah satu komunitas yang membahas sesuatu sesuai namanya. Melalui diskusi buku-buku hingga walking tour agar bisa melihat dengan mata kepala sendiri jejak sejarah yang masih tersisa.
Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.
Komunitas itu lahir di awal tahun 2024 silam. Berangkat dari kecintaan penggagasnya terhadap sejarah, namun tak punya wadah untuk menyalurkan kecintaannya itu sampai akhirnya terbersit pikiran membuat komunitas.
“Saya tertarik dengan hal berbau sejarah, tapi nggak ada wadahnya lalu kepikiran kenapa nggak bikin aja komunitas yang membahas buku dan soal sejarah,” kata penggagas komunitas Temu Sejarah, Tiwi Kasavela kepada infoJabar, Senin (21/7/2025).
Diskusi buku hingga walking tour ke beberapa daerah yang punya jejak sejarah menjadi agenda rutin komunitas itu. Agenda mereka dilakukan secara hybrid, diskusi secara daring serta walking tour dengan tatap muka langsung.
Diskusi buku sejarah yang dilakukan secara daring ternyata menyedit banyak peminat. Latar belakangnya macam-macam, ada mahasiswa, umum, hingga kalangan profesional. Tujuannya satu, bertukar pikiran dan menyelami sejarah.
“Kebetulan anggota komunitas ini darimana-mana, kalau diskusi di satu tempat itu kasihan kalau ada yang enggak bisa hadir. Biar enggak terbatas waktu dan tempat, makanya kita putuskan secara daring,” kata perempuan lulusan UIN Sunan Gunung Djati Bandung itu.
Sebut saja buku yang membahas soal Pangeran Diponegoro, kelam dan suramnya peristiwa Mei 1998, cerpen sejarah, dan masih banyak buku lain yang mereka kupas.
“Beberapa orang sering kita ajak jadi narasumber, seperti Peter Carey (sejarawan Inggris yang berspesialisasi dalam sejarah Indonesia), lalu Iksaka Banu (penulis), ada Naning Pranoto yang menulis novel Mei Merah. Total kita sudah diskusi 74 buku,” kata Tiwi.
Selama 1,5 tahun berdiri, komunitasnya juga sudah menjalani beberapa kali perjalanan eksplorasi sejarah di berbagai daerah. Terakhir kali, mereka jalan-jalan sejarah di Lembang, Kabupaten Bandung Barat (KBB) pada 20 Juli 2025.
“Kita sudah walking tour ke Malang, Jakarta, Ngawi, Bandung, Lembang, dan Solo. Kita selalu kolaborasi juga dengan sejarawan lokal, seperti komunitas Geowana, Sadar Lestari Ngawi,A Day In Malang, Sejarah Lembang, dan komunitas lainnya,” ucap Tiwi.
Lantas apa yang ingin perempuan 30 tahun itu capai melalui komunitas Temu Sejarah? Salah satunya yakni serupa dengan semboyan Ir. Soekarno, bahwa sejarah jangan sampai terlupakan oleh para penerus bangsa.
“Saya ingin orang itu lebih aware sama sejarah. Sejarah itu enggak rumit seperti yang dibayangkan. Tapi sederhana, misalnya bangunan, tempat yang kita datangi, itu semua ada asal usulnya. Jadi harapannya orang lebih aware sama sejarah biar lebih mencintai lingkungan, diri sendiri, supaya bisa menjadi lebih bijak,” kata Tiwi.