8 Fakta Unik R.A Kartini yang Jarang Diketahui

Posted on

Tahun ini, Hari Kartini jatuh pada hari Senin, 21 April 2025. Peringatan tersebut merupakan bentuk penghormatan pada Raden Ajeng Kartini, pahlawan nasional yang berjasa dalam memperjuangkan hak-hak perempuan, terutama akses pendidikan di era kolonial.

Sosok Kartini melekat dengan semangat emansipasi dan pemikiran yang maju melampaui masanya. Di balik citranya besarnya sebagai tokoh nasional, terdapat berbagai sisi unik yang menarik untuk diketahui dari Kartini.

Dilansir dari buku R.A. Kartini: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia karya Adora Kinara dan Sisi Lain Kartini terbitan Museum Kebangkitan Nasional, berikut infoJabar rangkumkan beberapa sisi unik Kartini yang jarang diketahui.

Kartini lahir pada 21 April 1879 dari keluarga priyayi atau kelas bangsawan Jawa. Ia merupakan putri dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat dan Mas Ajeng Ngasirah. Sang ayah adalah seorang patih yang diangkat menjadi Bupati Jepara setelah Kartini lahir.

Kakek dari pihak ayah adalah Pangeran Ario Tjondronegoro Adiningrat IV dan menikah dengan Gusti Kanjeng Ratu Ayu, putri kesepuluh dari Sultan Hamengkubuwana VI. Garis keturunan keluarga Bupati Sosroningrat ini bahkan disebut dapat ditarik hingga ke masa Kerajaan Majapahit, di mana nenek moyang Sosroningrat mengisi posisi-posisi penting di Pangreh Praja.

Kartini lahir dalam keadaan yang sehat dan rambut yang hitam tebal. Ia disebut tumbuh dengan kemampuan fisik dan motorik yang melebihi rata-rata bayi seusianya. Di usia 8 bulan, Kartini sudah mampu berjalan sendiri. Oleh karenanya, R.M Sosroningrat melakukan upcara Tedak Sinten untuk Kartini.

Kartini juga terus tumbuh dengan sifat serba ingin tahu yang menonjol. Hal inilah yang menuntun ia banyak membaca dan tampil cemerlang di pelajaran-pelajaran sekolah. Ia juga menjadi panutan adik-adiknya yang kelak turut membantu Kartini menjalankan sekolah perempuan miliknya.

Oleh sang ayah, Kartini kecil kerap dipanggil “Nil” atau “Trinil” karena aktif, banyak bertanya dan memiliki keingintahuan yang tinggi. Meski demikian, ibunya kurang suka dengan pannggilan terebut. Trinil adalah nama burung berkicau yang badannya kecil tetapi lincah.

Selain julukan Trinil, Kartini juga beberapa kali dipanggil kuda liar atau kuda kore. Kebiasaannya melonjak-lonjak agaknya berkontrubsi terhadap hal tersebut.

“Saya disebut kuda kore atau kuda liar. Karena saya jarang berjalan, tetapi selalu melompat atau melonjak-lonjak. Dan karena sesuatu dan lain hal lagi, saya dimaki-maki juga sebab saya sering tertawa terbahak-bahak dan memperlihatkan banyak gigi yang dinilai perbuatan tidak sopan,” ungkap Kartini dalam catatan suratnya yang kini telah dibukukan (Sutrisno 2014:15).

Kartini mengenyam pendidikan di sekolah Europese Lagere School (ELS). Selain orang Belanda, orang pribumi yang boleh ikut sekola adalah keluarga pegawai dan bangsawan.

Ayahnya menyekolahlan Kartini agar ia tidak tertinggal dengan anak-anak Barat. Kartini juga diberi pendidikan Bahasa Jawa, tata krama, hingga memasak dan menjahit.

DI ELS, Kartini terbilang pandai berbaur dan disukai teman-temannya. Ia bersifat luwes dan periang, karena ia merasa lepas saat bersekolah, tak perlu memusingkan aturan-aturan hidup bangsawan seperti saat di rumah. Meski aturan sekolah Belanda kerap diskriminatif ke pribumi, hal tersebut tak menyurutkan semangat Kartini untuk belajar.

Setelah lulus dari ELS dengan nilai yang cukup baik, Kartini berharap sang Ayah, yang berpikiran terbuka dibandingkan dengan pria-pria lain di masa tersebut, untuk dapat mengizinkannya melanjutkan pendidikan ke HBS Semarang. Ia berlutut di hadapan ayahnya dan meminta izin.

Meski demikian, ayahnya tak mengizinkanya. Sesuai dengan aturan kebangsawanan yang berlaku, Kartini yang kala itu belum genap 13 tahun harus menjalani masa pingitan selama 4 tahun. Di sana ia digembleng untuk menjadi puteri bangsawan melalui pendidikan cara bicara, cara bejalan, san aturan-aturan lainnya.

Salah satu yang menghibur Kartini di dalam pingitan adalah buku-buku bacaan. Sang ayah pun berlangganan kotak yang berisi sejumlah buku sebagai bacaan Kartini.

Pertengahan Juli 1903, utusan Bupati Rembang datang membawa surat lamaran untuk Kartini. Ayahnya yang menerima merasa senang, namun keputusan diberikan pada Kartini.

Setelah meminta waktu berpikir tiga hari, Kartini pun menikah dengan K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang pada 12 November 1903. Kala itu, Kartini adalah istri keempat dari Bupati Rembang.

Status tersebut sempat menjadi dilema tersendiri mengingat Kartini menolak keras poligami, karena melihat ketidakadilan yang dialami ibunya sendiri karena ayah yang berpoligami. Namun ia memiliki pertimbangannya tersendiri.

Kartini berusia 24 tahun. Di masa tersebut, usia itu dinilai sudah terlampau tua untuk belum menikah. Kartini sebelumnya juga telah berkali-kali menolak perjodohan.

Kartini juga mengajukan sejumlah syarat sebelum menikah, di antaranya adalah membuat sekolah khusus perempuan. Sekolah tersebut kemudian didirikan di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor Kabupaten Rembag.

Kartini di sana berkarir menjadi seorang guru. Ia juga tidak mau menjalani adat seperti berjalan jongkok dan berlutut di kaki suami saat menikah. Kartini tak ingin terkekang setelah menikah dan hal tersebut terkabul.

Kartini meninggal dunia pada 17 September 1904, hanya berselang empat hari setelah melahirkan putra semata wayangnya, Soesalit Djojoadiningrat. Ia menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 25 tahun.

Jenazahnya disemayamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Kota Rembang. Berita meninggalnya Kartini mengagetkan keluarga hingga kerabatnya di Hindia Belanda maupun di Belanda. Kabar tersebut pun dimuat di berbagai surat kabar.

Gagasan dan cita-cita Kartini yang tertuang pada surat-suratnya kepada para sahabatnya di Belanda lebih dulu disusun dan diterbitkan di Belanda daripada di Indonesia. Kumpulan surat tersebut diterbitkan menjadi buku oleh J.H. Abendanon pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht.

Buku itu kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh sastrawan pujangga baru, Armijn Pane dengan judul yang kita kenal sekarang, yakni Habis Gelap Terbitlah Terang. Buku tersebut terbit di tahun 1922. Terdapat pula dua karya lainnya yang diterbitkan, yakni Kehidupan Perempuan di Desa dan Surat-surat dari Pulau Jawa.

8 Fakta Unik R.A Kartini

1. Lahir dari Keluarga Bangsawan

2. Cerdas Sejak Kecil

3. Dipanggil Kuda Liar

4. Supel di Sekolah

5. Dipingit Selama 4 Tahun

6. Menikah dengan Syarat Khusus

7. Meninggal tak Lama Selepas Melahirkan

8. Lebih Dulu Terbit di Belanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *