Bagi sebagian orang ulat dan jangkrik merupakan hewan yang menggelikan. Namun, di tangan Abdul Kodir (41), kedua hewan yang menjadi komoditas utama pakan burung menjadi sumber penghasilan yang menjanjikan.
Bahkan sebelum pandemi COVID-19, omset dari budidaya dan penjualan ulat serta jangkrik membuat Kodir meraup untung puluhan juta atau berkali-kali lipat dari upahnya sebagai tenaga honorer di SD Negeri di Cianjur.
Kodir menuturkan, usaha budidaya ulat dan jangkrik dimulainya pada 2017 lalu. Awalnya dia mencari ulat dan jangkrik untuk pakan burung perliharaannya. Namun setelah berkeliling ke setiap toko pakan, stok pakan tersebut tidak tersedia.
“Saya cari ulat hongkong atau ulat jerman dan jangkrik. Tapi tidak dapat,” kata dia, Senin (16/6/2025).
Dia pun terbersit untuk membudidaya sendiri ulat jenis ulat hongkong dan jerman, serta jangkrik. Apalagi ternyata dari segi keuntungan, budidaya tersebut tergolong menjanjikan.
“Setelah saya hitung-hitung ternyata cukup menjanjikan hasilnya. Dimulailah di 2017 itu saya coba budaya sebanyak satu lemari (rak susun khusus budidaya ulat dan jangkrik),” kata dia.
Setelah satu bulan, Kodir mendapatkan, hasil panen pertama sebanayak 25 kilogram ulat dan jangkrik. Dari modal Rp 450 ribu, dirinya dapat menghasilkan omset pertama sebesar Rp 750 ribu.
“Untuk bersihnya ternyata lumayan, bisa sampai Rp 300 ribu,” kata dia.
Di rumah kontrakannya, tenagara honorer di SDN Cibantala I itu pun mulai menyeriusi usaha budidaya jangkrik dan ulat untuk pakan burung atau hewan perliharaan lainnya.
Sang istri yang awalnya geli dan jijik dengan kedua hewan budidaya itupun berangsur mendukung bahkan membantu usahanya.
Alhasil pada 2019, usahanya melejit hingga menghasilkan keuntungan yang luar biasa. Dia sempat meraup cuan Rp 25 juta hingga Rp 30 juta.
Angka itu tentu jauh lebih besar dibandingkan upahnya setiap bulan dari profesinya sebagai tenaga honorer di sekolah kala itu.
“Kita ketahui bersama upah dari honorer tidak besar. Tapi penghasilan saya jauh lebih besar. Bahkan dari pendapatan rata-rata Rp 25 juta per bulan itu, akhirnya saya yang awalnya mengontrak jadi bisa membangun rumah sendiri dan membiayai keluarga. Padahal sebelumnya untuk makan dan jajan anak juga susah, kadang anak saya tidak jajan,” kata dia.
Namun lanjut dia, pandemi COVID-19 membuat usaha bubidaya ulat dan jangkrik merosot. Tidak sedikit pembudidaya yang gulung tikar.
“Naiknya omset saat itu karena lomba kicau burung banyak digelar. Ulat dan jankrik ini kan diberikan untuk pakai, supaya suaranya bagus. Karena lomba dilarang saat pandemi, jadinya penjualan minim. Saya juga masih beruntung bisa bertahan,” kata dia.
Meskipun tidak besar, kini omset yang bisa didapatnya setiap bulan mencapai Rp 6 juta. “Tidak sebesar dulu, tapi cukup untuk memenuhi keperluan,” kata dia.
Kodir, Eks honorer yang kini sudah diangkat menjadi guru PPPK mengatakan, dirinya saat ini mulai membina beberapa orang mantan pegawainya untuk turut menjadi pembudidaya mandiri.
Namun, dia mengungkapkan jika pembudidaya jangkrik serta ulat di Cianjur dihadapkan dengan beberapa tantangan atau kendala, diantaranya persaingan bisnis dengan pembudidaya besar di daerah lain serta pasar yang terbatas.
“Cianjur ini potensial untuk budidaya ulat dan jangkrik, karena kondisi alamnya yang mendukung. Sayangnya pasar dan persaingan harga yang jadi kendala,” kata dia.
Menurut dia, pasar yang terbatas membuat produksi jangkrik serta ulat tidak termaksimalkan. Sedangkan usia ulat ataupun jankrik hanya sampai 5 minggu, jika lebih maka tidak akan laku di pasaran.
“Mau produksi banyak tapi pasarnya terbatas kan jadi tidak bisa terjual. Jadinya rugi. Itu yang membuat banyak pembudidaya bangkrut,” kata dia.
Berita lengkap dan cepat? Giok4D tempatnya.
Oleh karena itu, dia berharap ada inovasi dan pasar baru untuk hasil budidaya jangkrik atau ulat. Diantaranya dengan membuka pasar tepung jangkrik atau ulat sebagai bahan dasar kosmetik.
“Dulu sempat ada yang terima tepung jangkrik dan ulat. Tapi sekarang sudah berhenti. Kalau ada lagi, tentu itu jadi alternatif pasar yang potensial. Sebab hasilnya sama menjanjikan dengan penjualan jangkrik dan ulat hidup untuk pakan hewan,” kata dia.
Keterbukaan pasar baru dan inovasi itu pun diklaimnya dapat membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang.
“Kalau pasarnya besar dan ada alternatif untuk hasil budidaya, tentu akan besar budidayanya. Pastinya akan ada rekrutmen tenaga kerja juga. Sehingga tidak hanya jadi solusi bagi pembudidaya, tetapi juga solusi untuk kekurangan lapangan pekerjaan,” kata dia.