Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.
Selama 16 tahun bekerja di Arab Saudi, Saodah (56), buruh migran asal Kampung Nangerang, Desa Purwasedar, Kecamatan Ciracap, Sukabumi, mengalami penyiksaan demi penyiksaan. Tubuhnya penuh luka, pahanya patah, punggungnya berbekas lebam, bahkan pernah diborgol selama tiga hari tiga malam di halaman rumah majikan.
Namun derita Saodah tak berhenti di sana. Setelah pulang pada 25 Mei 2025, yang ia dapatkan hanyalah sedikit uang tunai dan selembar cek tak bernilai. Hak gajinya selama 16 tahun justru raib.
Pilu itu kini juga dirasakan Heri, anak pertama Saodah. Sehari-harinya, ia mengurusi segala keperluan ibunya yang terus menanyakan hak gajinya. Menurut Heri, selain penderitaan fisik, fakta soal gaji yang tak dibayar itu tak kalah menyakitkan.
“Harapan ke Arab Saudi mengadu nasib itu ingin membahagiakan keluarga, namun yang didapat ibu saya sangat jauh dari harapan,” lirih Heri kepada infoJabar, Jumat (3/10/2025).
Berdasarkan perhitungan, Saodah seharusnya menerima lebih dari Rp1 miliar. Tetapi yang ia bawa pulang hanya uang tunai 6.000 riyal atau setara Rp25,2 juta dengan kurs saat ini, dan selembar cek Bank Riyadh senilai 35 ribu riyal atau sekitar Rp147 juta.
Hingga kini, cek tersebut tak bisa dicairkan di Indonesia. Artinya, yang benar-benar bisa ia bawa pulang hanyalah Rp25 juta.
Heri membandingkan dengan tetangganya yang berangkat pada periode yang sama dengan gaji sekitar 1.500 riyal per bulan di tahun 2009, atau sekitar Rp6,6 juta. Jika dihitung dengan kurs saat ini, seharusnya ibunya bisa membawa pulang lebih dari Rp1,2 miliar.
“Gaji 1.500 riyal itu di tahun 2009, pastinya setiap berapa tahun ada kenaikan. Jumlah totalnya bisa lebih dari itu seharusnya. Ini ibu saya kan hanya dapat cash 6 ribu riyal dan selembar cek Bank Riyadh yang sampai sekarang belum bisa dicairkan,” lirihnya.
Heri, yang selama 16 tahun mengira sang ibu sudah meninggal, kini hanya berharap keadilan ditegakkan. “Hak-haknya segera kasih ke ibu saya. Mohon bantuannya ke bapak presiden sama bapak gubernur,” ujarnya.
Sebelumnya, Saodah bercerita bagaimana dirinya diperlakukan layaknya budak. Ia mengaku nyaris diperkosa, berkali-kali dipukuli, bahkan pernah dirantai di bawah terik matahari.
“Pernah saya sampai dirantai, dijemur di tengah terik matahari, tangan terikat rantai ke tiang di luar rumah. Tiga kali, oleh majikan lelaki, saya dipukulin sambil disiram air. Saya cuma bisa menangis, enggak makan, minta uang buat beli makan malah dimarahin,” kenangnya.